Prinsip, Kriteria dan Indikator Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan guidance pengembangan Kelapa Sawit berkelanjutan Indonesia yang didasarkan kepada Peraturan Perundangan yang berlaku di Indonesia, Sebagai penjabaran dari Amanat UUD 1945.
Adapun tujuan di tetapkannya ISPO adalah :
1. Memposisikan pembangunan kelapa sawit sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi Indonesia
2. Memantapkan sikap dasar bangsa Indonesia untuk memproduksi minyak kelapa sawit berkelanjutan
3. Mendukung komitmen Indonesia dalam pelestarian Sumber Daya Alam dan fungsi lingkungan hidup
Dengan demikian ISPO yang di dasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia bersifat mandatory/kewajiban yang harus di laksanakan bagi seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Berikut adalah Prinsip,Kriteria, Indikator dan Panduan Indonesian Sustainable Palm Oli (ISPO) :
No
|
Prinsip dan Kriteria
|
Indikator
|
Panduan
|
1.
1.1.
|
SISTEM PERIZINAN DAN MANAJEMEN PERKEBUNAN
Perizinan dan sertifikat.
Pengelola perkebunan harus memperoleh perizinan serta
sertifikat tanah.
|
1.
Telah memiliki Izin Lokasi dari pejabat yang berwenang kecuali
kebun-kebun konversi hak barat (erfpahct);
2.
Telah memiliki perizinan yang sesuai seperti: IUP,
IUP-B, IUP-P, SPUP, ITUP, Izin/Persetujuan Prinsip.
3.
Telah memiliki hak atas tanah/dalam proses,
sertifikat yang sesuai, seperti : HGU, HGB, Hak Pakai (HP), atau
konversi hak barat (erfpahct).
|
a.
Izin Lokasi dari Gubernur/Bupati sesuai kewenangannya
untuk areal APL dan kesepakatan dengan masyarakat/Masyarakat Hukum Adat/ulayat
tentang kesepakatan penggunaannya, besarnya kompensasi serta hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Telah memiliki HGU bagi perusahaan
yang
lahannya merupakan konversi hak barat (erfpahct).
b.
Izin lokasi yang terletak dikawasan HPK harus terlebih
dahulu mendapatkan pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.
c.
Izin lokasi untuk perkebunan kelapa sawit maksimum
untuk satu perusahaan adalah 100.000 ha untuk Indonesia. Pembatasan luas
areal tersebut tidak berlaku bagi
koperasi usaha perkebunan, perusahaan perkebunan yang sebagian besar
sahamnya dikuasai oleh negara baik Pemerintah, Provinsi atau Kabupaten/Kota
atau Perusahaan Perkebunan yang sahamnya dimiliki oleh masyarakat dalam
rangka go public. Khusus untuk Provinsi Papua luas
maksimum provinsi dua kali provinsi lainnya.
d.
Bagi perusahaan perkebunan dengan luas areal tertentu
(≥ 25 ha) dan atau kapasitas pengolahan kelapa sawit tertentu (≥ 5 ton
TBS/jam) wajib memiliki Izin Usaha Perkebunan /IUP (> 1.000 ha dan harus
memiliki PKS), memiliki IUP-B bagi pelaku usaha budidaya (25 ha – 1.000 ha)
, dan IUP-P bagi pelaku usaha Pengolahan (harus didukung 20% bahan baku dari
kebun sendiri).
e.
Izin Lokasi dan IUP merupakan salah satu persyaratan
bagi perusahaan untuk mengajukan permohonan HGU.
|
1.2
|
Pembangunan kebun untuk masyarakat sekitar
Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B
wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari
total luas areal kebun yang diusahakan
|
1.
Dokumen kerjasama perusahaan dengan masyarakat sekitar
kebun untuk pembangunan kebun masyarakat paling rendah 20% dari total areal
kebun yang diusahakan;
2.
Laporan perkembangan realisasi pembangunan kebun
masyarakat
|
a.
Kewajiban membangun kebun untuk masyarakat sekitar
paling rendah 20% hanya untuk perusahaan yang memperoleh IUP dan IUP-B
berdasarkan Permentan Nomor 26 Tahun 2007;
b.
Pembangunan kebun masyarakat dapat dilakukan antara
lain melalui pola kredit, hibah atau bagi hasil;
c.
Pembangunan kebun untuk masyarakat dilakukan bersamaan dengan pembangunan kebun yang diusahakan oleh perusahaan;
d.
Rencana pembangunan kebun masyarakat harus diketahui
oleh Bupati/walikota
|
1.3.
|
Lokasi Perkebunan
Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa penggunaan
lahan perkebunan telah sesuai dengan Rencana Umum Tataruang Wilayah Provinsi
(RUTWP) atau Rencana Umum Tataruang Wilayah Kabupaten/Kota (RUTWK) sesuai
dengan perundangan yang berlaku atau kebijakan lain yang sesuai dengan
ketetapan yang ditentukan oleh pemerintah atau pemerintah setempat.
|
1.
Rencana tataruang sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau
ketentuan lainnya yang ditentukan oleh pemerintah daerah setempat.
2.
Dokumen Izin Lokasi perusahaan yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang;
3.
Keputusan Menteri Kehutanan bagi lahan yang memerlukan
Pelepasan Kawasan Hutan atau memerlukan Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
4.
Rekaman perolehan hak atas
5.
Peta lokasi kebun/topografi/jenis tanah.
|
a.
Bagi perusahaan yang berlokasi di provinsi/kabupaten yang belum menetapkan RUTWP/ RUTWK, dapat
menggunakan Rencana Umum Tata Ruang yang berlaku.
b.
Tanah yang dapat ditunjuk dalam Izin Lokasi adalah tanah
yang menurut Tataruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan
yang sesuai dengan rencana pengembangan wilayah tersebut yang akan
dilaksanakan oleh suatu perusahaan.
c.
Perusahaan pemegang Izin Lokasi wajib menghormati
kepentingan pihak pihak lain atas tanah yang belum dibebaskan, tidak menutup
atau mengurangi aksesibilitas dan melindungi kepentingan umum.
d.
Bagi lahan yang berasal dari Kawasan Hutan yaitu
Hutan Produksi Konversi (HPK) diperlukan persetujuan dari Menteri Kehutan
serta perusahaan perkebunan kelapa sawit telah memenuhi kewajiban tukar
menukar kawasan sesuai ketentuan yang berlaku.
e.
Bagi perusahaan perkebunan yang memperoleh hak atas
tanah sebelum tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria), cukup menunjukkan HGU
yang terakhir.
f.
Melaporkan perkembangan perolehan hak atas tanah dan
penggunaannya.
|
1.4
|
Tumpang Tindih dengan Usaha Pertambangan
Pengelola usaha Perkebunan
apabila di dalam areal perkebunannya
terdapat Izin Usaha Pertambangan
harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
|
1.
Tersedia kesepakatan bersama antara pemegang hak atas
tanah (pengusaha perkebunan) dengan pengusaha pertambangan tentang besarnya
kompensasi
2.
Kesanggupan Pengusaha Pertambangan secara tertulis
untuk mengembalikan tanah bekas tambang seperti kondisi semula (tanah lapisan
bawah di bawah dan lapisan atas berada di atas) tanpa menimbulkan dampak
erosi dan kerusakan lahan dan lingkungan
|
a.
Pengusaha pertambangan mineral dan/atau batubara yang
memperoleh Izin Lokasi
Pertambangan pada areal Izin Lokasi Usaha Perkebunan, harus mendapat izin dari
pemegang hak atas tanah.
b.
Apabila usaha pertambangan telah selesai dan usaha
perkebunan masih berjalan, maka lahan tersebut wajib dikembalikan
untuk usaha perkebunan dan reklamasi lahan harus sesuai dengan ketentuan yang
berlaku agar lahan tersebut tetap produktif untuk usaha perkebunan kelapa
sawit.
c.
Biaya reklamasi lahan menjadi beban pihak pengusaha
pertambangan.
|
1.5.
|
Sengketa Lahan dan Kompensasi
Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa lahan
perkebunan yang digunakan bebas dari
status sengketa dengan masyarakat/petani disekitarnya. Apabila terdapat
sengketa maka harus diselesaikan secara musyawarah untuk mendapatkan
kesepakatan sesuai dengan peraturan perundangan dan /atau ketentuan adat yang
berlaku namun bila tidak terjadi kesepakatan maka penyelesaian sengketa lahan
harus menempuh jalur hukum.
|
1.
Tersedia mekanisme penyelesaian sengketa lahan yang
terdokumentasi.
2.
Tersedia peta lokasi lahan yang disengketakan.
3.
Tersedia salinan perjanjian yang telah
disepakati.
4.
Tersedia rekaman progres musyawarah untuk
penyelesaian sengketa disimpan.
|
a.
Sengketa lahan dengan masyarakat sekitar kebun /petani diselesaikan secara
musyawarah/mufakat.
b.
Penetapan besarnya kompensasi dan lamanya penggunaan
lahan masyarakat untuk usaha perkebunan dilakukan secara musyawarah.
c.
Apabila penyelesaian sengketa lahan melalui musyawarah tidak
menemui kesepakatan, maka lahan yang disengketakan harus diselesaikan melalui
jalur hukum/pengadilan negeri.
|
1.6.
|
Bentuk Badan Hukum
Perkebunan kelapa sawit yang
dikelola harus mempunyai bentuk badan hukum yang jelas sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
|
Telah memiliki dokumen yang sah
tentang bentuk badan hukum berbentuk akta notaris yang disahkan oleh
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (dh. Menkumham).
|
Bentuk badan hukum antara lain :
a.
Perseroan Terbatas;
b.
Yayasan;
c.
Koperasi.
|
1.7.
|
Manajemen Perkebunan
Perkebunan harus memiliki perencanaan jangka panjang
untuk memproduksi minyak sawit lestari.
|
1. Perusahaan
telah memiliki Visi dan Misi untuk memproduksi minyak sawit lestari.
2.
Memiliki SOP untuk praktek budidaya dan pengolahan hasil
perkebunan.
3.
Memiliki struktur organisasi dan uraian tugas yang
jelas bagi setiap unit dan pelaksana.
4.
Memiliki perencanaan untuk menjamin berlangsungnya
usaha perkebunan.
5.
Memiliki sistem manajemen Keuangan Perusahaan dan
keamanan ekonomi dan keuangan yang terjamin dalam jangka panjang.
6.
Memiliki Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM).
|
a. Visi
dan Misi menjadi komitmen perusahaan dari pimpinan tertinggi dan seluruh karyawan;
b.
Tersedia rencana kerja
jangka pendek dan jangka panjang pembangunan perkebunan;
c.
Tersedia hasil audit neraca keuangan perusahaan oleh
akuntan publik;
d.
Tersedia laporan tahunan yang secara lengkap menjelaskan
kegiatan perusahaan;
e.
Tersedia informasi tentang kewajiban pembayaran
pajak;
f.
Tersedia SOP perekrutan karyawan;
g.
Tersedia sistem penggajian dan pemberian insentif;
h.
Memiliki sistem jenjang karier dan penilaian prestasi
kerja;
i.
Tersedia peraturan perusahaan tentang hak dan kewajiban
karyawan ;
j.
Tersedia peraturan dan sarana keselamatan dan kesehatan
kerja (K3) ;
k.
Rekaman pelatihan yang telah diikuti oleh karyawan
kebun;
l.
Identifikasi jenis pelatihan yang diperlukan oleh
perusahaan.
|
1.8.
|
Rencana dan realisasi pembangunan kebun dan
pabrik
|
1.
Rekaman rencana dan realisasi pemanfaatan lahan (HGU,
HGB, HP, dll) untuk pembangunan perkebunan (pembangunan kebun,
pabrik, kantor, perumahan karyawan, dan sarana pendukung lainnya).
2.
Rekaman rencana dan realisasi kapasitas pabrik kelapa
sawit.
|
a. Realisasi
pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya (untuk tanaman kelapa sawit) dan
waktu yang diberikan;
b.
Realisasi pemanfaatan lahan sesuai dengan izin yang
dikeluarkan (HGU, HGB, HP dll).
c.
Tersedia pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) dan
kapasitasnya ;
d.
Tersedia bahan baku pabrik sesuai kapasitas Pabrik/Mill.
|
1.9.
|
Pemberian informasi kepada instansi terkait sesuai
ketentuan yang berlaku dan pemangku kepentingan lainnya terkecuali menyangkut hal yang patut dirahasiakan
|
1. Tersedianya
mekanisme pemberian informasi;
2. Tersedia rekaman
pemberian informasi kepada instansi terkait;
3. Daftar
jenis informasi/data yang dapat diperoleh oleh pemangku kepentingan lainnya;
4. Rekaman
permintaan informasi oleh pemangku kepentingan lainnya;
5. Rekaman
tanggapan terhadap permintaan informasi
|
a.
Jenis informasi yang bersifat rahasia adalah
kerahasiaan dagang atau bilamana pengungkapan informasi tersebut akan
berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial;
b.
Sebelum dimulai kegiatan perusahaan dan Surat Keputusan
ditandatangani oleh Bupati/Walikota diadakan rapat
koordinasi disertai konsultasi dengan masyarakat pemegang hak atas tanah dalam
lokasi yang dimohon antara lain:
1) Penyebarluasan
informasi mengenai rencana pembangunan perkebunan, ruang lingkup dan dampaknya, rencana perolehan dan
penyelesaian perolehan tanah;
2) Informasi
mengenai rencana pengembangan dan penyelesaian masalah yang ditemui;
3) Pengumpulan informasi untuk memperoleh data
sosial dan lingkungan;
4) Peranserta
masyarakat serta alternatif bentuk dan besarnya ganti rugi tanah.
|
2.
2.1.
2.1.1
|
PENERAPAN PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA DAN PENGOLAHAN KELAPA
SAWIT.
Penerapan pedoman teknis budidaya
Pembukaan lahan
Pembukaan lahan yang memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah dan air
|
1.
Tersedia SOP pembukaan lahan
2.
Tersedia rekaman pembukaan lahan
|
a.
SOP pembukaan lahan harus mencakup :
- Pembukaan
lahan tanpa bakar
- Sudah
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air;
b.
Dokumentasi kegiatan pembukaan lahan tanpa pembakaran
sejak tahun 2004 tidak diperkenankan.
c.
Pembukaan lahan dilakukan berdasarkan hasil AMDAL/UKL-UPL.
d.
Pada lahan dengan kemiringan di atas 40% tidak
dilakukan pembukaan lahan.
e.
Pembuatan sistem drainase, terasering, penanaman
tanaman penutup tanah (cover crops) untuk meminimalisir erosi dan kerusakan/degradasi
tanah.
|
2.1.2
|
Konservasi Terhadap Sumber dan Kualitas Air
|
1. Tersedia rekaman
pengelolaan air dan pemeliharaan sumber air.
2. Tersedia program
pemantauan kualitas air permukaan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar
perkebunan.
3. Tersedia rekaman
penggunaan air untuk pabrik kelapa sawit.
|
a. Perusahaan
harus menggunakan air secara efisien.
b. Perusahaan menjaga air
buangan tidak terkontaminasi limbah sehingga tidak menimbulkan dampak
negatif terhadap pengguna air lainnya.
c. Perusahaan melakukan
pengujian mutu air di laboratorium secara berkala.
d. Perusahaan
harus melakukan upaya untuk menghindari terjadinya erosi pada sempadan sungai di
lokasi perkebunan;
e. Perusahaan
harus melindungi/melestarikan sumber air yang ada di areal perkebunan.
|
2.1.3
|
Perbenihan
Pengelola perkebunan dalam menghasilkan benih unggul
bermutu harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan baku teknis perbenihan.
|
1. Tersedia
SOP perbenihan.
2. Tersedia rekaman
asal benih yang digunakan.
3. Tersedia rekaman/dokumentasi
pelaksanaan perbenihan.
4. Tersedia rekaman/dokumen penanganan
benih/bibit yang tidak memenuhi persyaratan.
|
Prosedur atau instruksi kerja/SOP pelaksanaan proses perbenihan
harus dapat menjamin :
a.
Benih yang digunakan sejak tahun 1997 merupakan
benih bina yang berasal dari sumber benih yang telah mendapat pengakuan dari
pemerintah dan bersertifikat dari instansi yang berwenang.
b.
Umur dan kualitas benih yang disalurkan sesuai
ketentuan teknis.
c.
Penanganan terhadap benih yang tidak memenuhi
persyaratan dituangkan dalam Berita Acara.
|
2.1.4
|
Penanaman pada lahan mineral
Pengelola perkebunan harus melakukan penanaman sesuai
baku teknis
|
1. Tersedia
SOP penanaman yang mengacu kepada Pedoman Teknis Pembangunan Kebun Kelapa
Sawit di lahan mineral dan/atau lahan gambut.
2. Tersedia rekaman
pelaksanaan penanaman;
|
a.
SOP atau instruksi kerja penanaman harus mencakup :
- Pengaturan
jumlah tanaman dan jarak tanaman sesuai dengan kondisi lapangan dan praktek
budidaya perkebunan terbaik.
- Adanya
tanaman penutup tanah dan/atau tanaman sela.
- Pembuatan
terasering untuk lahan miring.
b.
Rencana dan realisasi penanaman.
|
2.1.5
|
Penanaman pada Lahan Gambut
Penanaman kelapa sawit pada lahan gambut dapat
dilakukan dengan memperhatikan karakteristik lahan gambut sehingga tidak
menimbulkan kerusakan fungsi lingkungan
|
1.
Tersedia SOP /instruksi
kerja untuk penanaman pada
lahan gambut dan mengacu kepada ketentuan yang berlaku.
2.
Rekaman pelaksanaan penanaman tanaman terdokumentasi.
|
SOP atau instruksi kerja penanaman harus mencakup :
a. Penanaman
dilakukan pada lahan gambut berbentuk hamparan dengan kedalaman < 3 m dan
proporsi mencakup 70% dari total areal;
Lapisan tanah mineral dibawah gambut bukan pasir kuarsa atau tanah sulfat
masam dan pada lahan gambut dengan tingkat kematangan matang (saprik).
b. Pengaturan
jumlah tanaman dan jarak tanaman sesuai dengan kondisi lapangan dan praktek
budidaya perkebunan terbaik.
c. Adanya
tanaman penutup tanah.
d. Pengaturan
tinggi air tanah (water level) antara 50 – 60 cm untuk menghambat emisi
karbon dari lahan gambut
|
2.1.6
|
Pemeliharaan tanaman
|
1. Tersedia
SOP pemeliharaan tanaman yang mengacu kepada Pedoman Teknis
Pembangunan Kebun Kelapa Sawit.
2. Tersedia rekaman/dokumen
pelaksanaan pemeliharaan tanaman.
|
Pemeliharaan tanaman mencakup kegiatan:
- Mempertahankan
jumlah tanaman sesuai standar;
- Pemeliharaan
terasering dan tinggi muka air (drainase);
- Pemeliharaan
piringan;
- Pemeliharaan
tanaman penutup tanah (cover crop).
- Sanitasi
kebun dan penyiangan gulma;
- Pemupukan berdasarkan
hasil analisa tanah dan daun.
|
2.1.7
|
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
Pengelola perkebunan harus menerapkan
sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sesuai Pedoman Teknis.
|
1. Tersedia SOP pengamatan dan pengendalian OPT.
2. Tersedia SOP penanganan limbah pestisida.
3. Tersedia rekaman pelaksanaan
pengamatan dan pengendalian OPT;
4. Tersedia rekaman jenis pestisida (sintetik
dan nabati) dan agens pengendali hayati (parasitoid,
predator, feromon, agens hayati, dll.) yang
digunakan.
5. Tersedia
rekaman jenis tanaman inang musuh alami OPT.
|
SOP dan instruksi kerja pengendalian OPT harus dapat
menjamin bahwa :
a.
Pengendalian OPT dilakukan secara terpadu (pengendalian
hama terpadu/PHT), yaitu memadukan berbagai teknik pengendalian secara
mekanis, biologis, fisik dan kimiawi.
b.
Diterapkan sistem peringatan dini (Early Warning Sistem / EWS) melalui pengamatan
OPT
secara berkala;
c.
Pestisida yang digunakan telah terdaftar di Komisi
Pestisida Kementerian Pertanian.
d.
Penanganan limbah pestisida dilakukan sesuai petunjuk
teknis untuk meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan;
e.
Tersedia sarana pengendalian sesuai SOP atau instruksi
kerja.
f.
Tersedia tenaga (regu) pengendali yang sudah terlatih.
g. Tersedia
gudang penyimpanan alat dan bahan pengendali OPT ;
|
2.1.7
|
Pemanenan
Pengelola perkebunan melakukan panen tepat
waktu dan dengan cara yang benar.
|
1. Tersedia
SOP pelaksanaan pemanenan.
2. Tersedia rekaman pelaksanaan pemanenan.
|
a.
SOP dan instruksi kerja pelaksanaan pemanenan harus mencakup :
-
Penyiapan tenaga kerja, peralatan dan sarana
penunjangnya.
-
Penetapan kriteria matang panen dan putaran panen.
b.
Kesesuaian pelaksanaan pemanenan dengan SOP yang ada
|
2.2.
2.2.1
|
Penerapan pedoman teknis pengolahan hasil perkebunan.
Pengangkutan Buah.
Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa TBS yang dipanen
harus segera diangkut ke tempat pengolahan untuk menghindari penurunan
kualitas.
|
1.
Tersedia SOP untuk pengangkutan TBS.
2.
Tersedia Rekaman pelaksanaan pengangkutan TBS;
|
a.
SOP / Instruksi kerja pengangkutan buah berisikan
ketentuan sebagai berikut:
-
Ketersediaan alat transportasi serta sarana
pendukungnya.
-
Buah harus terjaga dari kerusakan, kontaminasi, kehilangan,
terjadinya fermentasi
-
Ketepatan waktu sampai di tempat pengolahan.
b.
Kesesuaian pelaksanaan pengangkutan TBS dengan SOP yang
ada
|
2.2.2
|
Penerimaan TBS di PABRIK
Pengelola pabrik memastikan bahwa TBS yang diterima
sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan.
|
1.
Tersedia SOP penerimaan dan pemeriksaan/ sortasi TBS
2.
Tersedia Rekaman penerimaan TBS
yang sesuai dan tidak sesuai dengan persyaratan.
|
a. SOP
penerimaan dan pemeriksaan / sortasi TBS juga harus mencakup :
-
Kriteria sortasi
buah yang diterima
-
pengaturan terhadap TBS / brondolan yang tidak memenuhi
syarat.
b. Kriteria
TBS yang diterima di PABRIK harus dibuat terbuka.
c. Penetapan
harga pembelian TBS mengikuti ketentuan yang berlaku, dan tersedia
rekapitulasi ketetapan harga TBS dari instansi yang berwenang.
d. Kesesuaian
pelaksanaan penerimaan / sortasi penerimaan TBS dengan SOP yang ada
|
2.2.3
|
Pengolahan TBS.
Pengelola pabrik harus merencanakan dan melaksanakan
pengolahan TBS melalui penerapan praktek pengelolaan / pengolahan terbaik (GHP/GMP).
|
1.
Tersedia SOP atau instruksi kerja yang diperlukan baik untuk proses
pengolahan maupun proses pemantauan dan pengukuran kualitas CPO.
2.
Tersedia informasi yang menguraikan spesifikasi /
standar hasil olahan.
3.
Tersedia Rekaman pelaksanaan pengolahan.
|
a.
Harus ada perencanaan produksi.
b.
Peralatan dan mesin-mesin produksi harus dirawat dan
dikendalikan untuk mencapai kesesuaian produk dan efisiensi.
c.
Peralatan pabrik kelapa sawit harus dipelihara untuk
menjamin proses pengolahan TBS dapat memenuhi kualitas hasil yang diharapkan.
d.
Harus ditetapkan dan diterapkan sistem/ cara
identifikasi produk yang mampu telusur untuk menjamin ketelusuran rantai
suplai (hanya bagi pabrik yang menerapkan supply chain certification/
sertifikasi rantai suplai).
|
2.2.4
|
Pengelolaan limbah.
Pengelola pabrik memastikan bahwa limbah pabrik kelapa
sawit dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
|
1.
Tersedia instruksi kerja / SOP mengenai pengelolaan
limbah (cair dan udara).
2.
Rekaman mengenai pengukuran kualitas limbah cair.
3.
Rekaman mengenai pengukuran kualitas udara (emisi
dan ambient)
4.
Rekaman pelaporan pemantauan pengelolaan limbah kepada
instansi yang berwenang terdokumentasi.
5.
Tersedia surat izin pembuangan air limbah dari instansi terkait
|
Prosedur dan petunjuk teknis pengelolaan limbah antara
lain mencakup tentang :
a.
Pengukuran kualitas
limbah cair di outlet Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL) sesuai
ketentuan yang berlaku;
b.
Pengukuran kualitas udara emisi dari semua sumber emisi
dan udara ambien sesuai ketentuan yang berlaku
c.
Melaporkan per tiga bulan hasil pengukuran air limbah
setiap bulan
d.
Melaporkan per enam bulan hasil pengukuran udara
emisi dan udara ambien
e.
Untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca khususnya gas
metan dapat dilakukan dengan menggunakan Metan
Trapping;
f.
Untuk mengetahui bahwa kualitas limbah sudah tidak
berbahaya bagi lingkungan dan dapat dibuang ke sungai, pada kolam terakhir
perusahaan sering memelihara berbagai beberapa jenis ikan di kolam tersebut.
|
2.2.5
|
Pengelolaan
Limbah B3
Limbah B3 merupakan limbah yang mengandung bahan berbahaya dan atau
beracun yang karena sifat dan konsentrasinya dan atau jumlahnya dapat
mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, oleh karena itu harus
dilakukan upaya optimal agar kualitas lingkungan kembali kepada fungsi semula.
|
a.
Tersedia instruksi kerja / SOP
mengenai pengelolaan limbah B3;
b.
Limbah B3 termasuk kemasan pestisida, oli bekas dan
lain lain dibuang sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku;
c.
Rekaman penanganan limbah B3 terdokumentasi
d.
Tersedia surat izin penyimpanan dan/atau pemanfaatan
limbah B3 dari instansi terkait
|
Pengelola Limbah B3 di pabrik harus melakukan hal sbb:
a.
Melaporkan tiga bulan sekali pengelolaan limbah B3 di
Industri CPO-nya;
b.
Mengirimkan jenis LB3 yang dihasilkan ke pihak ketiga
yang berizin;
c.
Membuat logbook/neraca (catatan keluar masuk limbah)
untuk LB3 yang dihasilkan, dikelola lanjut dan yang tersimpan di TPS LB3;
d.
Melaporkan neraca LB3 dan manifest pengiriman LB3
secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada KNLH cc. Pemda Provinsi
dan Pemda Kab/Kota;
|
2.2.6
|
Gangguan dari Sumber yang tidak Bergerak
Gangguan sumber yang tidak bergerak berupa baku tingkat kebisingan, baku
tingkat getaran, baku tingkat kebauan dan baku tingkat gangguan lainnya
ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau
aspek keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan.
|
1. Tersedia
SOP/instruksi kerja untuk menangani gangguan sumber tidak bergerak sesuai
dengan pedoman yang yang diterbitkan dari instansi yang tekait;
2. Laporan
hasil pengukuran baku tingkat gangguan dari sumber yang tidak bergerak kepada
instansi yang terkait;
3. Rekaman
penanganan gangguan dari sumber tidak bergerak terdokumentasi
|
i.
Pedoman teknis pengendalian dari sumber gangguan tidak
bergerak ditetapkan oleh instansi yang terkait;
ii.
Baku tingkat gangguan dari sumber tidak bergerak setiap
5 (lima) ditinjau kembali
|
2.2.7
|
Pemanfaatan limbah.
Pengelola Perkebunan/Pabrik harus memanfaatkan limbah
untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampak lingkungan.
|
1.
Tersedia SOP pemanfaatan limbah.
2.
Tersedia surat izin pemanfaatan limbah cair untuk Land Application (LA) dari
instansi terkait.
3.
Tersedia Rekaman pemanfaatan limbah padat dan cair.
|
a.
Pengelola perkebunan/ pabrik dapat memanfaatkan limbah
antara lain:
1)
Pemanfaatan limbah padat berupa serat cangkang dan
janjang kosong untuk bahan bakar;
2)
Pemanfaatan tandan/janjang kosong untuk pupuk organik;
3)
Pemanfaatan Land
Application sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b.
Penyimpanan limbah di pabrik tidak boleh menimbulkan pencemaran lingkungan
atau menyebabkan terjadinya kebakaran pabrik.
c.
Tersedia perhitungan pengurangan emisi bila menggunakan
bahan bakar terbarukan termasuk biomassa dibandingkan dengan bahan bakar
minyak bumi;
d.
Pemanfaatan limbah cair harus dilaporkan kepada instansi yang berwenang.
|
3.
3.1.
|
PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN.
Kewajiban pengelola kebun yang memiliki pabrik
Pengelola perkebunan yang memiliki pabrik harus melaksanakan
kewajiban pengelolaan dan pemantauan lingkungan sesuai ketentuan yang
berlaku.
|
1.
Memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah);
2.
Memiliki izin pemanfaatan limbah cair dari instansi
berwenang bagi yang melakukan LA (Land Aplication).
3.
Memiliki izin dari Pemerintah Daerah untuk pembuangan
limbah cair ke badan air.
4.
Memiliki izin dari KLH untuk pabrik yang membuang
limbah cairnya ke laut.
5.
Tersedia rekaman terkait kegiatan (1 s/d 4).
|
Untuk industri kelapa sawit yang melakukan Land
Aplication wajib :
a.
Memantau limbah cair, kualitas tanah dan
kualitas air tanah sesuai ketentuan yang berlaku;
b.
Melaporkan per tiga bulan hasil pemantauan air limbah yang
dilakukan setiap bulan; melaporkan pengukuran air tanah, sumur pantau setiap
6 bulan sekali; dan pengukuran kualitas tanah 1 tahun sekali.
c.
Melaporkan kualitas udara emisi dari semua sumber emisi
dan ambient setiap 6 bulan sekali kepada PEMDA dengan tembusan KLH;
Untuk industri yang tidak melakukan Land
Aplication wajib:
a.
Memantau limbah cair setiap
bulan.
b.
Melaporkan per tiga bulan sekali hasil pemantauan
limbah cair, per enam bulan emisi udara dan ambien kepada PEMDA dengan
tembusan KLH;
Pengelola Limbah B3 di pabrik harus melakukan hal sebagai
berikut:
e.
Melaporkan tiga bulan sekali pengelolaan limbah B3 di
Industri CPO-nya;
f.
Mengirimkan jenis LB3 yang dihasilkan ke pihak ketiga
yang berizin;
g.
Membuat logbook/neraca (catatan keluar masuk limbah)
untuk LB3 yang dihasilkan, dikelola lanjut dan yang tersimpan di TPS LB3;
h.
Melaporkan neraca LB3 dan manifest pengiriman LB3
secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada KNLH cc. Pemda Provinsi
dan Pemda Kab/Kota;
|
3.2.
|
Kewajiban terkait analisa dampak lingkungan AMDAL,UKL dan
UPL.
Pengelola perkebunan harus melaksanakan kewajibannya
terkait AMDAL, UKL dan UPL sesuai
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
|
1. Memiliki dokumen AMDAL bagi pelaku usaha
perkebunan kelapa sawit yang mengelola lahan
> 3.000 ha.
2. Memiliki dokumen UKL/UPL bagi pelaku usaha
perkebunan kelapa sawit yang mengelola lahan < 3.000 ha
3. Tersedia Rekaman terkait pelaksanaan
penerapan hasil AMDAL,UKL/UPL termasuk laporan kepada instansi yang berwenang.
|
a. Pelaku
usaha perkebunan kelapa sawit sebelum melakukan usahanya wajib membuat dokumen
lingkungan (AMDAL, UKL/UPL).
b. Pelaku
usaha perkebunan kelapa sawit yang telah beroperasi wajib menerapkan hasil AMDAL, UKL/UPL;
c. Melaporkan
hasil pemantauan dan pengelolaan lingkungan secara rutin kepada instansi yang
berwenang.
|
3.3.
|
Pencegahan dan penanggulangan kebakaran.
Pengelola perkebunan harus melakukan pencegahan dan
penanggulangan kebakaran.
|
1. Tersedia
SOP pencegahan dan penanggulangan kebakaran
2. Tersedia
SDM yang mampu mencegah dan menangani kebakaran.
3. Tersedia
sarana dan prasarana pengendalian/penanggulangan kebakaran;
4. Memiliki
organisasi dan sistem tanggap darurat;
5. Tersedia
Rekaman pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan kebakaran, pemantauan
kebakaran dan pelaporannya.
|
a. Melakukan
pelatihan penanggulangan kebakaran secara periodik
b. Melakukan
pemantauan dan pencegahan kebakaran serta melaporkan hasilnya secara berkala
(minimal 6 bln sekali) kepada Gubernur, Bupati/ Walikota dan instansi
terkait.
c. Melakukan
penanggulangan bila terjadi kebakaran.
|
3.4.
|
Pelestarian biodiversity
Pengelola perkebunan harus menjaga dan melestarikan
keaneka ragaman hayati pada areal yang dikelola sesuai dengan ijin usaha
perkebunannya.
|
1.
Tersedia SOP identifikasi
Perlindungan flora dan fauna di lingkungan perkebunan;
2.
Memiliki daftar flora dan fauna di kebun dan sekitar
kebun, sebelum dan sesudah dimulainya usaha perkebunan.
3.
Tersedia Rekaman sosialisasi.
|
a. Pengelola
perkebunan melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya keaneka ragaman hayati
dan upaya pelestariannya.
b. Dilakukan
pendataan terhadap flora dan fauna di kebun dan sekitar kebun;
c. Upaya-upaya
perusahaan untuk konservasi flora dan fauna (antara lain dengan buffer zone, pembuatan poster,
papan peringatan, dll).
|
3.5
|
Identifikasi dan perlindungan kawasan yang mempunyai
nilai konservasi tinggi
Pengelola perkebunan harus melakukan identifikasi kawasan yang mempunyai nilai konservasi
tinggi yang merupakan kawasan yang mempunyai fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan
dan nilai sejarah serta budaya bangsa
dengan tidak membuka untuk usaha perkebunan kelapa sawit.
|
1. Tersedia
hasil identifikasi kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi
2. Tersedia
peta kebun yang menunjukkan lokasi
kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi.
3. Rekaman
identifikasi dan sosialisasi kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi.
|
a. Dilakukan
inventarisasi kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi di sekitar
kebun.
b. Sosialisasi
kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi kepada karyawan dan
masyarakat/petani di sekitar kebun.
|
3.6.
|
Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
Pengelola usaha perkebunan harus mengidentifikasi
sumber emisi GRK.
|
1. Tersedia
Petunjuk Teknis/SOP Mitigasi GRK;
2. Tersedia
inventarisasi sumber emisi GRK;
3. Tersedia
rekaman tahapan alih fungsi lahan (land use trajectory);
4. Tersedia
rekaman usaha pengurangan emisi GRK;
5. Tersedia
Rekaman pelaksanaan mitigasi.
|
a. Dilakukan
inventarisasi sumber emisi GRK;
b. Sosialisasi
upaya-upaya pengurangan emisi GRK (metan
trapping, pengaturan tata air pada lahan gambut, pengelolaan pemupukan
yang tepat, dll) dan cara perhitungannya.
c. Melakukan
pemanfaatan limbah padat (serat, cangkang, dll) untuk bahan bakar boiler dan
perhitungan efisiensi penggunaan bahan bakar fosil.
d. Memiliki
bukti penggunaan lahan minimal 2 tahun sebelum dilakukan pembukaan lahan
untuk usaha perkebunan dan bukti penanaman.
|
3.7.
|
Konservasi kawasan dengan potensi erosi tinggi.
Pengelola perkebunan harus melakukan koservasi lahan dan
menghindari erosi sesuai ketentuan yang berlaku.
|
1.
Tersedia SOP konservasi kawasan dengan potensi erosi
tinggi termasuk sempadan sungai.
2.
Tersedia peta kebun dan topografi serta lokasi
penyebaran sungai.
3.
Tersedia Rekaman pelaksanaan konservasi kawasan dengan
potensi erosi tinggi.
|
SOP konservasi kawasan dengan potensi erosi tinggi
termasuk sempadan sungai harus dapat menjamin, bahwa :
a. Kawasan
dengan potensi erosi tinggi antara lain adalah daerah sempadan sungai yang tidak
lagi ditanami kelapa sawit.
b. Dilakukan
penanaman tanaman yang berfungsi
sebagai penahan erosi pada sempadan sungai.
c. Apabila
di kawasan sempadan sungai sudah ditanami kelapa sawit dan sudah menghasilkan
(>4 tahun), maka perlu dilakukan program rehabilitasi pada saat peremajaan
(replanting).
|
4.
4.1.
|
TANGGUNG JAWAB TERHADAP PEKERJA.
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3).
Pengelola perkebunan wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja ( SMK3 )
|
1. Tersedianya
Dokumentasi SMK3 yang ditetapkan oleh yang berwenang.
2. Telah
terbentuk organisasi SMK3 yang didukung oleh sarana dan prasarananya.
3. Tersedia
asuransi kecelakaan kerja (Jamsostek).
4. Rekaman
penerapan SMK3 termasuk pelaporannya.
|
a. Perlu
dilakukan pelatihan dan kampanye mengenai K3
b. Dilakukan
identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian resiko kecelakaan.
c. Dilakukan
pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi pekerja dengan resiko kecelakaan kerja
tinggi.
d. Riwayat
kejadian kecelakaan / cidera harus disimpan
e. Adanya
pelaporan penerapan SMK3 secara periodik kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
sesuai ketentuan yang berlaku.
|
4.2.
|
Kesejahteraan dan peningkatan kemampuan pekerja / buruh.
Pengelola perkebunan harus memperhatikan kesejahteraan
pekerja dan meningkatkan kemampuannya.
|
1.
Diterapkannya peraturan tentang Upah Minimum.
2.
Mempunyai sistem penggajian baku yang ditetapkan.
3.
Tersedia sarana dan prasarana untuk kesejahteraan pekerja
(perumahan, poliklinik, sarana ibadah, sarana pendidikan dan sarana olahraga)
4.
Tersedia kebijakan perusahaan untuk mengikutsertakan
karyawan dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
5.
Tersedia program pelatihan untuk peningkatan kemampuan
karyawan.
6.
Tersedia Rekaman pelaksanaan yang berkaitan dengan
kesejahteraan dan peningkatan kemampuan pekerja.
|
a. Upah
minimum yang dibayarkan sesuai dengan UMR daerah bersangkutan.
b. Daftar karyawan
yang mengikuti program Jamsostek;
c. Daftar
kebutuhan dan rencana pelatihan karyawan;
d. Daftar
karyawan yang telah mengikuti pelatihan;
|
4.3.
|
Penggunaan Pekerja Anak dan Diskriminasi pekerja
(Suku, Ras, Gender dan Agama)
Pengelola perkebunan tidak boleh mempekerjakan anak di
bawah umur dan melakukan diskriminasi.
|
1.
Perusahaan memiliki kebijakan tentang
persyaratan umur pekerja sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku
2.
Perusahaan memiliki kebijakan tentang peluang
dan perlakuan yang sama untuk mendapat kesempatan kerja.
3.
Tersedia Rekaman daftar karyawan.
4.
Tersedia mekanisme penyampaian pengaduan dan keluhan
pekerja.
5.
Tersedia Rekaman pengaduan dan keluhan
pekerja.
|
a.
SOP penerimaan pekerja/pegawai,
b.
Tidak terdapat pekerja di bawah umur yang ditentukan
c.
Perusahaan wajib menjaga keamanan dan
kenyamanan bekerja
|
4.4.
|
Pembentukan Serikat Pekerja.
Pengelola perkebunan harus memfasilitasi terbentuknya Serikat
Pekerja dalam rangka memperjuangkan hak-hak karyawan / buruh.
|
1.
Perusahaan memiliki peraturan terkait dengan keberadaan serikat
pekerja.
2.
Memiliki daftar pekerja yang menjadi anggota serikat
pekerja.
3.
Tersedia Rekaman pertemuan-pertemuan baik antara
perusahaan dengan serikat pekerja maupun intern serikat.
|
e.
Perusahaan memfasilitasi terbentuknya serikat pekerja
f.
Perusahaan memberikan pembinaan kepada serikat pekerja
g.
Perusahaan memberikan fasilitas untuk kegiatan serikat
pekerja
|
4.5.
|
Perusahaan mendorong dan memfasilitasi pembentukan
koperasi pekerja
|
1. Tersedia
Kebijakan perusahaan dalam pembentukan koperasi;
2. Tersedia
Akte pendirian koperasi karyawan
|
a.
Perusahaan memfasilitasi terbentuknya koperasi karyawan
b.
Perusahaan memberikan pembinaan kepada koperasi
karyawan sampai terbentuknya badan hukum koperasi karyawan
c.
Perusahaan memberikan fasilitas untuk kegiatan koperasi
karyawan
d.
Koperasi karyawan melakukan RAT
e.
Koperasi karyawan mempunyai aktifitas yang nyata
f.
Daftar karyawan yang menjadi anggota koperasi
|
5.
5.1.
|
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN KOMUNITAS
Tanggung jawab sosial dan lingkungan kemasyarakatan
Pengelola perkebunan harus memiliki komitmen sosial,
kemasyarakatan dan pengembangan potensi kearifan lokal.
|
1. Tersedia
komitmen tanggung jawab sosial dan lingkungan kemasyarakatan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat setempat.
2. Tersedia
Rekaman realisasi komitmen tanggung jawab sosial dan lingkungan
kemasyarakatan.
|
a. Meningkatkan
kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat baik bagi perseroan
sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya;
b.
Ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar
dengan melakukan kemitraan.
c.
Melakukan pembangunan di sekitar kebun antara lain melalui
berbagai kegiatan seperti pendidikan, kesehatan,
infrastruktur, pertanian, usaha mikro dan kecil, olah raga, kesenian,
keagamaan, sosial ekonomi dll.
|
5.2.
|
Pemberdayaan Masyarakat Adat/ Penduduk Asli
Pengelola perkebunan berperan dalam mensejahterakan
masyarakat adat/ penduduk asli.
|
1. Memiliki
program untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat adat (penduduk asli).
2. Memiliki
program untuk mempertahankan kearifan lokal.
3. Tersedia
Rekaman realisasi program bersama masyarakat adat/ penduduk asli.
|
a. Berperan
dalam memberdayakan penduduk asli (indegenous people)
b.
Memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat
adat/penduduk asli.
|
6.
6.1.
|
PEMBERDAYAAN KEGIATAN
EKONOMI MASYARAKAT
Pengembangan Usaha Lokal
Pengelola perkebunan memprioritaskan untuk memberi peluang
pembelian / pengadaan barang dan jasa kepada masyarakat di sekitar kebun.
|
Tersedia Rekaman transaksi lokal
termasuk pembelian lokal, penggunaan kontraktor lokal, dll.
|
Perusahaan harus membina masyarakat di sekitar kebun
yang memiliki potensi untuk dapat memenuhi persyaratan / kriteria sebagai
pemasok / suplier.
Jenis kerjasama dalam pengembangan
kegiatan ekonomi masyarakat antara lain: penyediaan sarana produksi, transportasi,
dan jasa lainnya.
|
7.
|
PENINGKATAN USAHA SECARA BERKELANJUTAN
Pengelola perkebunan dan pabrik harus terus menerus meningkatkan
kinerja (sosial, ekonomi dan lingkungan) dengan mengembangkan dan
mengimplementasikan rencana aksi yang mendukung peningkatan produksi berkelanjutan.
|
Tersedia rekaman hasil penerapan perbaikan/peningkatan
yang dilakukan.
|
Pengelola perkebunan melakukan perbaikan / peningkatan
secara berkelanjutan melalui :
a.
Perbaikan / peningkatan sebagai tindak lanjut keputusan-keputusan dari tinjauan
manajemen.
b.
Penerapan teknologi baru hasil penelitian baik intern
maupun dari luar.
c.
Pelaksanaan tindakan korektif maupun preventif sebagai
tindak lanjut terhadap adanya ketidak sesuaian terhadap pengembangan
perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
|
Untuk mendownload klik pada tulisan dan pilih save.
Demikian dulu informasi tentang prinsip dan kriteria Indonesian Sustainable Palm Olil (ISPO) semoga membantu.
No comments:
Post a Comment