Penyakit Kangker Batang Duku. Gejala awal penyakit umumnya timbul pada batang yang memperlihatkan kulit batang retak/pecah-pecah, dengan ukuran 5 – 20 cm. Pada gejala lebih lanjut bagian tersebut mengering dan kulit batang mengelupas (gejala kanker), sehingga sebagian daun menguning yang selanjutnya mengering dan rontok. Pada gejala lanjut, bagian mengelupas tersebut dapat melingkari batang yang menyebabkan tanaman mati. Gejala dapat sampai pada bagian kayu. Menurut gejalanya, penyakit dinamakan penyakit kanker batang. Penyakit banyak timbul pada kebun yang minim sanitasinya, dalam kondisi lingkungan yang lembab, terutama pada areal yang sering kelimpahan banjir sungai Batanghari pada musim hujan.
Di Desa Malapari, jumlah tanaman duku dari 20 petani contoh yang menunjukkan gejala penyakit maupun yang telah mati tercatat 341 batang dari 1453 batang duku yang diamati (Intensitas Kejadian Penyakit 23,5 %). Sementara itu di Desa Terusan, tanaman duku yang menunjukkan gejala penyakit maupun yang telah mati tercatat 5.227 batang dari 11.669 batang duku yang ada (Intensitas Kejadian Penyakit sebesar 44,8 %).
Hal ini menunjukkan bahwa penyakit dapat berkembang cepat, karena dalam jangka waktu dua 278tahun jumlah tanaman yang bergejala meningkat secara signifikan, dan harus segera dilakukan pengendalian. Pengendalian yang telah dilakukan oleh instansi terkait bersama petani dengan olesan fungisida Bubur California tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.
Upaya lain yang dianjurkan adalah melakukan sanitasi kebun dengan membersihkan gulma perdu maupun rumput yang tumbuh di kebun, serta membuat saluran-saluran drainase untuk membuang kelebihan air di kebun pada musim hujan (mengurangi kelembaban). Untuk mengendalikan penyakit secara efektif dan efisien memerlukan informasi lebih lanjut tentang jenis patogen (penyebab penyakitnya).
Hasil isolasi patogen baik dari contoh tanaman sakit di Desa Terusan maupun Desa Malapari mendapatkan jamur Phytophthora sp. Patogen memiliki miselium yang tidak bersekat, berwarna bening (hialin), dan sporangium berbentuk lonjong (bulat telur) dengan ukuran panjang 30-65 µm dan lebar 20-53 µm, dengan rata-rata panjang 52 µm dan lebar 34 µm. Patogen tersebut mirip/identik dengan patogen yang diisolasi dari kanker batang pada durian, yaitu Phytophthora palmivora (Butl.) Butl. (Tai, 1971; Erwin, 1983; Lim dan Chan, 1986; Prayudi, 1988; Semangun, 1991;).
Uji postulat Koch untuk memastikan penyebab penyakitnya adalah Phytophthora sp. sedang dalam proses pelaksanaan, yang dilakukan pada bibit duku umur sekitar dua tahun. Apabila patogen benar Phytophthora palmivora, maka besar kemungkinannya penyakit dapat menular pada tanaman duku lain yang berada pada DAS Batanghari, tanaman durian di sekitar tanaman duku yang sakit, atau tanaman perkebunan lain seperti kakao dan kelapa melalui aliran air. Oleh karena itu upaya pengendalian perlu segera dilakukan secara intensif berdasar konsep pengelolaan hama terpadu (PHT).
Dalam kondisi yang demikian, upaya pengendalian diarahkan pada kebersihan lingkungan kebun (sanitasi), pembuatan saluran drainase untuk mengurangi kelembaban kebun terutama pada musim hujan, eradikasi tanaman yang sakit parah, mati atau bagian tanaman yang mati, serta mengupayakan tanaman yang belum terinfeksi atau belum parah dalam kondisi sehat misalnya dengan pemupukan dan pemeliharaan yang rutin.
Untuk mencegah perkembangan penyakit secara luas, penggunaan fungisida sistemik dan selektif dapat direkomendasikan mengingat lokasi wabah penyakit memiliki curah hujan yang tinggi (2.100 – 2.500 mm/tahun). Fungisida tersebut diantaranya adalah yang berbahan aktif asam fosfit 400 g/l (Folirfos 400AS, Agrifos 400 AS); propamokarb hidroklorida 722 g/l (Previcur-N); dan aluminium fosetil 100 g/l (Alliette 100 CA). Penggunaan fungisida sistemik harus memperhitungkan agar residu yang terdapat pada buah seminimal mungkin. Oleh karena itu waktu aplikasinya harus tepat.