Petani Kelapa Sawit Terjebak
Prilaku Konsumtif. Setiap orang yang
bertemu dengan petani yang satu ini akan merasa sensasi berbeda karena yakin
pendapatannya sangat besar terutama saat ini yang terbantu dengan harga yang
berada di kisaran Rp. 2.000. Tetapi dari hasil penelusuran admin konsultasi
sawit ternyata berbeda karena kemewahan tersebut hanya semu dimana petani
kelapa sawit banyak terjebak dengan sifat yang konsumtif. Sifat konsumtif ini
terkadang membuat beberapa orang petani kelapa sawit yang bangkrut hingga kebun
kelapa sawit terpaksa di jual karena tidak sanggup untuk membayar hutang kredit
yang terlalu besar karena produksi terlalu sedikit.
Beberapa sifat konsumtif yang ditemukan di lapangan
adalah sebagai berikut :
1. Pinjaman di Bank terlalu besar
80% petani kelapa sawit memiliki hutang di bank yang
dekat dengan tempatnya tinggal. Besar pinjaman terkadang terlalu besar sehingga
sering tidak sangup untuk membayar terutama pada saat produksi kebun kelapa
sawit yang sedikit. Akibatnya banyak kebun tidak terawat karena uang pendapatan
sudah habis untuk membayar hutang di bank.
2. Kredit kendaraan pribadi
Dilokasi yang dikunjungi oleh admin setiap rumah
petani pasti terdapat sepeda motor dengan jumlah 2 – 3 unit. Biasanya dibeli
dengan cara yang kredit bukan lunas dengan pinjaman di bank akibatnya petani
harus membayar bunga kredit sebanyak 2 kali ke bank dan leasing. Kredit untuk
kendaraan biasanya antara Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 1.000.000 untuk setiap
unitnya perbulan.
3. Kredit elektronik dan furniture
Uang hasil pinjaman di bank biasanya habis digunakan
untuk membangun rumah sehingga di butuhkan tambahan hutang untuk kredit
elektronik dan furniture karena menurut petani tidak enak rasanya rumah bagus
tetapi tidak ada isinya.
4 Kredit lain-lain
Kredit lain yang biasanya di miliki oleh petani adalah
dalam bentuk pinjaman uang dan hutang kebutuhan pokok ke KUD untuk belanja
sehari-hari dan kebutuhan yang mendesak.
Seorang petani menyebutkan bahwa saat ini untuk 1 buah
sertifikat kapling kelapa sawit seluas 2 Ha dapat meminjam ke bank sebesar Rp.
100 juta jika masa pinjaman selama 4 tahun maka setiap bulan petani harus
membayar sebesar Rp. 4.000.000. Untuk membayar hutang kredit tersebut berarti
petani harus mengeluarkan produksi sebanyak 2.000 kg. Dari hasil pantauan di
lapangan saat ini produksi kelapa sawit yang ada sekitar 3.000 kg perbulan
artinya pendapatan kotor petani tinggal
1.000 kg atau jika dikalikan dengan harga Rp. 2000/kg adalah Rp. 2.000.000.
Jika dikurangi dengan biaya
produksi Rp. 700/kg maka biaya
produksi adalah Rp. 2.100.000. maka sang petani tersebut sudah mengalami
kerugian sebanyak Rp. 100.000/bulan. Itu masih untuk membayar hutang di bank
bagaimana lagi dengan biaya hidup, hutang kredit kendaraan bermotor dan hutang
lainnya. Akibatnya petani tersebut terpaksa merelakan kendaraanya di tarik
leasing 3 bulan kemudian dan tidak membayar hutang kredit ke bank. Bahkan dalam
tempo setahun maka kebun sawitnya terpaksa di jual karena tidak sanggup lagi
untuk membayar kredit bank.
Jika kita lihat ilustrasi di atas maka sifat konsumtif
inilah yang menjerumuskan petani kelapa sawit menjadi gagal. Untuk menghindari
ini dibutuhkan kerjasama semua pihak terutama dari bank untuk tidak memberikan
pinjaman di atas kemampuan bayar petani karena secara tidak langsung akan
menyengsarakan petani kalapa sawit tersebut.
Selain itu dibutuhkan bantuan pelatihan dari
pemerintah untuk memberikan petani tentang bagaimana cara mengelola ekonomi
rumah tangga sehingga dapat menjadi petani yang sukses bukan petani yang mewah
tetapi kemudian mengalami kegagalan karena terlilit hutang.