Prinsip, Kriteria dan Indikator Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan guidance pengembangan Kelapa Sawit berkelanjutan Indonesia yang didasarkan kepada Peraturan Perundangan yang berlaku di Indonesia, Sebagai penjabaran dari Amanat UUD  1945. 
Adapun tujuan di tetapkannya ISPO adalah :
1. Memposisikan pembangunan kelapa sawit sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi Indonesia
2. Memantapkan sikap dasar bangsa Indonesia untuk  memproduksi minyak kelapa sawit berkelanjutan
3. Mendukung komitmen Indonesia dalam pelestarian Sumber Daya Alam dan fungsi lingkungan hidup
Dengan demikian ISPO yang di dasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia bersifat mandatory/kewajiban yang harus di laksanakan bagi seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Berikut adalah Prinsip,Kriteria, Indikator dan Panduan Indonesian Sustainable Palm Oli (ISPO) :
| 
    
No 
 | 
   
    
Prinsip dan Kriteria 
 | 
   
    
Indikator 
 | 
   
    
Panduan 
 | 
  
| 
   
1. 
1.1. 
 | 
  
   
SISTEM PERIZINAN DAN MANAJEMEN PERKEBUNAN 
Perizinan dan sertifikat. 
Pengelola perkebunan harus memperoleh perizinan serta
  sertifikat tanah. 
 | 
  
   
1.  
  Telah memiliki Izin Lokasi dari pejabat yang berwenang kecuali
  kebun-kebun konversi hak barat (erfpahct); 
2.  
  Telah memiliki perizinan yang sesuai seperti: IUP,
  IUP-B, IUP-P, SPUP, ITUP, Izin/Persetujuan Prinsip. 
3.  
  Telah memiliki hak atas tanah/dalam proses,
  sertifikat yang sesuai, seperti : HGU, HGB, Hak Pakai (HP), atau
  konversi hak barat (erfpahct). 
 | 
  
   
a.   
  Izin Lokasi dari Gubernur/Bupati sesuai kewenangannya
  untuk areal APL dan kesepakatan dengan masyarakat/Masyarakat Hukum Adat/ulayat
  tentang kesepakatan penggunaannya, besarnya kompensasi serta hak dan
  kewajiban masing-masing pihak. Telah memiliki HGU bagi perusahaan
  yang
  lahannya merupakan konversi hak barat (erfpahct). 
b.   
  Izin lokasi yang terletak dikawasan HPK harus terlebih
  dahulu mendapatkan pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. 
c.   
  Izin lokasi untuk perkebunan kelapa sawit maksimum
  untuk satu perusahaan adalah 100.000 ha untuk Indonesia. Pembatasan luas
  areal tersebut tidak berlaku bagi 
  koperasi usaha perkebunan, perusahaan perkebunan yang sebagian besar
  sahamnya dikuasai oleh negara baik Pemerintah, Provinsi atau Kabupaten/Kota
  atau Perusahaan Perkebunan yang sahamnya dimiliki oleh masyarakat dalam
  rangka go public. Khusus untuk Provinsi Papua luas
  maksimum provinsi dua kali provinsi lainnya. 
d.   
  Bagi perusahaan perkebunan dengan luas areal tertentu
  (≥ 25 ha) dan atau kapasitas pengolahan kelapa sawit tertentu (≥ 5 ton
  TBS/jam) wajib memiliki Izin Usaha Perkebunan /IUP (> 1.000 ha dan harus
  memiliki PKS), memiliki IUP-B bagi pelaku usaha budidaya (25 ha – 1.000 ha)
  , dan IUP-P bagi pelaku usaha Pengolahan (harus didukung 20% bahan baku dari
  kebun sendiri).  
e.   
  Izin Lokasi dan IUP merupakan salah satu persyaratan
  bagi perusahaan untuk mengajukan permohonan HGU. 
 | 
 
| 
   
1.2 
 | 
  
   
Pembangunan kebun untuk masyarakat sekitar 
Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B
  wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari
  total luas areal kebun yang diusahakan  
 | 
  
   
1.    
  Dokumen kerjasama perusahaan dengan masyarakat sekitar
  kebun untuk pembangunan kebun masyarakat paling rendah 20% dari total areal
  kebun yang diusahakan; 
2.    
  Laporan perkembangan realisasi pembangunan kebun
  masyarakat  
 | 
  
   
a.      
  Kewajiban membangun kebun untuk masyarakat sekitar
  paling rendah 20% hanya untuk perusahaan yang memperoleh IUP dan IUP-B
  berdasarkan Permentan Nomor 26 Tahun 2007; 
b.      
  Pembangunan kebun masyarakat dapat dilakukan antara
  lain melalui pola kredit, hibah atau bagi hasil; 
c.      
  Pembangunan kebun untuk masyarakat  dilakukan bersamaan dengan pembangunan  kebun yang diusahakan oleh perusahaan; 
d.      
  Rencana pembangunan kebun masyarakat harus diketahui
  oleh Bupati/walikota 
 | 
 
| 
   
1.3. 
 | 
  
   
Lokasi Perkebunan 
Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa penggunaan
  lahan perkebunan telah sesuai dengan Rencana Umum Tataruang Wilayah Provinsi
  (RUTWP) atau Rencana Umum Tataruang Wilayah Kabupaten/Kota (RUTWK) sesuai
  dengan perundangan yang berlaku atau kebijakan lain yang sesuai dengan
  ketetapan yang ditentukan oleh pemerintah atau  pemerintah setempat. 
 | 
  
   
1.   
  Rencana tataruang sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau
  ketentuan lainnya yang ditentukan oleh pemerintah daerah setempat. 
2.   
  Dokumen Izin Lokasi perusahaan yang dikeluarkan oleh
  instansi yang berwenang; 
3.   
  Keputusan Menteri Kehutanan bagi lahan yang memerlukan
  Pelepasan Kawasan Hutan atau memerlukan Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan 
4.   
  Rekaman perolehan hak atas 
5.   
  Peta lokasi kebun/topografi/jenis tanah. 
 | 
  
   
a.    
  Bagi perusahaan yang berlokasi di provinsi/kabupaten  yang belum menetapkan RUTWP/ RUTWK, dapat
  menggunakan Rencana Umum Tata Ruang yang berlaku. 
b.    
  Tanah yang dapat ditunjuk dalam Izin Lokasi adalah tanah
  yang menurut Tataruang Wilayah yang berlaku diperuntukkan bagi penggunaan
  yang sesuai dengan rencana pengembangan wilayah tersebut yang akan
  dilaksanakan oleh suatu perusahaan. 
c.     
  Perusahaan pemegang Izin Lokasi wajib menghormati
  kepentingan pihak pihak lain atas tanah yang belum dibebaskan, tidak menutup
  atau mengurangi aksesibilitas dan melindungi kepentingan umum. 
d.    
  Bagi lahan yang berasal dari Kawasan Hutan yaitu
  Hutan Produksi Konversi (HPK) diperlukan persetujuan dari Menteri Kehutan
  serta perusahaan perkebunan kelapa sawit telah memenuhi kewajiban tukar
  menukar kawasan sesuai ketentuan yang berlaku. 
e.    
  Bagi perusahaan perkebunan yang memperoleh hak atas
  tanah sebelum tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria), cukup menunjukkan HGU
  yang terakhir. 
f.      
  Melaporkan perkembangan perolehan hak atas tanah dan
  penggunaannya. 
 | 
 
| 
   
1.4 
 | 
  
   
Tumpang Tindih  dengan Usaha Pertambangan 
Pengelola usaha Perkebunan
  apabila di dalam areal perkebunannya 
  terdapat Izin Usaha Pertambangan 
  harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 
 | 
  
   
1.    
  Tersedia kesepakatan bersama antara pemegang hak atas
  tanah (pengusaha perkebunan) dengan pengusaha pertambangan tentang besarnya
  kompensasi 
2.    
  Kesanggupan Pengusaha Pertambangan secara tertulis
  untuk mengembalikan tanah bekas tambang seperti kondisi semula (tanah lapisan
  bawah di bawah dan lapisan atas berada di atas) tanpa menimbulkan dampak
  erosi dan kerusakan lahan dan lingkungan 
 | 
  
   
a.     
  Pengusaha pertambangan mineral dan/atau batubara yang
  memperoleh Izin Lokasi
  Pertambangan pada areal Izin Lokasi Usaha Perkebunan,  harus mendapat izin dari
  pemegang hak atas tanah. 
b.     
  Apabila usaha pertambangan telah selesai dan usaha
  perkebunan masih berjalan, maka lahan tersebut wajib dikembalikan
  untuk usaha perkebunan dan reklamasi lahan harus sesuai dengan ketentuan yang
  berlaku agar lahan tersebut tetap produktif untuk usaha perkebunan kelapa
  sawit. 
c.     
  Biaya reklamasi lahan menjadi beban pihak pengusaha
  pertambangan. 
 | 
 
| 
   
1.5. 
 | 
  
   
Sengketa Lahan dan Kompensasi 
Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa lahan
  perkebunan yang digunakan  bebas dari
  status sengketa dengan masyarakat/petani disekitarnya. Apabila terdapat
  sengketa maka harus diselesaikan secara musyawarah untuk mendapatkan
  kesepakatan sesuai dengan peraturan perundangan dan /atau ketentuan adat yang
  berlaku namun bila tidak terjadi kesepakatan maka penyelesaian sengketa lahan
  harus menempuh jalur hukum. 
 | 
  
   
1.   
  Tersedia mekanisme penyelesaian sengketa lahan yang
  terdokumentasi. 
2.   
  Tersedia peta lokasi lahan yang disengketakan. 
3.   
  Tersedia salinan perjanjian yang telah
  disepakati. 
4.   
  Tersedia rekaman progres musyawarah untuk
  penyelesaian sengketa disimpan. 
 | 
  
   
a.    
  Sengketa lahan dengan masyarakat  sekitar kebun /petani diselesaikan secara
  musyawarah/mufakat. 
b.    
  Penetapan besarnya kompensasi dan lamanya penggunaan
  lahan masyarakat untuk usaha perkebunan dilakukan secara musyawarah. 
c.     
  Apabila penyelesaian sengketa lahan melalui musyawarah tidak
  menemui kesepakatan, maka lahan yang disengketakan harus diselesaikan melalui
  jalur hukum/pengadilan negeri. 
 | 
 
| 
   
1.6. 
 | 
  
   
Bentuk Badan Hukum  
Perkebunan kelapa sawit yang
  dikelola harus mempunyai bentuk badan hukum yang jelas sesuai peraturan perundang-undangan
  yang berlaku. 
 | 
  
   
Telah memiliki dokumen yang sah
  tentang bentuk badan hukum berbentuk akta notaris yang disahkan oleh
  Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (dh. Menkumham). 
 | 
  
   
Bentuk badan hukum antara lain :  
a.    
  Perseroan Terbatas; 
b.    
  Yayasan; 
c.     
  Koperasi. 
 | 
 
| 
   
1.7. 
 | 
  
   
Manajemen Perkebunan 
Perkebunan harus memiliki perencanaan jangka panjang
  untuk memproduksi minyak sawit lestari. 
 | 
  
   
1.   Perusahaan
  telah memiliki Visi dan Misi untuk memproduksi minyak sawit lestari. 
2.  
  Memiliki SOP untuk praktek budidaya dan pengolahan hasil
  perkebunan. 
3.  
  Memiliki struktur organisasi dan uraian tugas yang
  jelas bagi setiap unit dan pelaksana. 
4.  
  Memiliki perencanaan untuk menjamin berlangsungnya
  usaha perkebunan. 
5.  
  Memiliki sistem manajemen Keuangan Perusahaan dan
  keamanan ekonomi dan keuangan yang terjamin dalam jangka panjang. 
6.  
  Memiliki Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). 
 | 
  
   
a.   Visi
  dan Misi menjadi komitmen perusahaan dari pimpinan tertinggi dan seluruh karyawan; 
b.  
  Tersedia rencana kerja 
  jangka pendek dan jangka panjang pembangunan perkebunan; 
c.   
  Tersedia hasil audit neraca keuangan perusahaan oleh
  akuntan publik; 
d.  
  Tersedia laporan tahunan yang secara lengkap menjelaskan
  kegiatan perusahaan; 
e.  
  Tersedia informasi tentang kewajiban pembayaran
  pajak; 
f.    
  Tersedia SOP perekrutan karyawan; 
g.  
  Tersedia sistem penggajian dan pemberian insentif; 
h.  
  Memiliki sistem jenjang karier dan penilaian prestasi
  kerja; 
i.    
  Tersedia peraturan perusahaan tentang hak dan kewajiban
  karyawan ; 
j.    
  Tersedia peraturan dan sarana keselamatan dan kesehatan
  kerja (K3) ; 
k.   
  Rekaman pelatihan yang telah diikuti oleh karyawan
  kebun; 
l.    
  Identifikasi jenis pelatihan yang diperlukan oleh
  perusahaan. 
 | 
 
| 
   
1.8. 
 | 
  
   
Rencana dan realisasi pembangunan kebun dan
  pabrik 
 | 
  
   
1.   
  Rekaman rencana dan realisasi pemanfaatan lahan (HGU,
  HGB, HP, dll) untuk pembangunan perkebunan (pembangunan kebun,
  pabrik, kantor, perumahan karyawan, dan sarana pendukung lainnya). 
2.  
  Rekaman rencana dan realisasi kapasitas pabrik kelapa
  sawit. 
 | 
  
   
a.   Realisasi
  pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya (untuk tanaman kelapa sawit) dan
  waktu yang diberikan; 
b.  
  Realisasi pemanfaatan lahan sesuai dengan izin yang
  dikeluarkan (HGU, HGB, HP dll). 
c.   
  Tersedia pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) dan
  kapasitasnya ; 
d.  
  Tersedia bahan baku pabrik sesuai kapasitas Pabrik/Mill. 
 | 
 
| 
   
1.9. 
 | 
  
   
Pemberian informasi kepada instansi terkait sesuai
  ketentuan yang berlaku dan pemangku kepentingan lainnya terkecuali  menyangkut hal yang patut dirahasiakan   
 | 
  
   
1.  Tersedianya
  mekanisme pemberian informasi; 
2.  Tersedia rekaman
  pemberian informasi kepada instansi terkait; 
3.  Daftar
  jenis informasi/data yang dapat diperoleh oleh pemangku kepentingan lainnya; 
4.  Rekaman
  permintaan informasi oleh pemangku kepentingan lainnya; 
5.  Rekaman
  tanggapan terhadap permintaan informasi 
 | 
  
   
a.   
  Jenis informasi yang bersifat rahasia adalah
  kerahasiaan dagang atau bilamana pengungkapan informasi tersebut akan
  berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial; 
b.   
  Sebelum dimulai kegiatan perusahaan dan Surat Keputusan
  ditandatangani oleh Bupati/Walikota diadakan rapat
  koordinasi disertai konsultasi dengan masyarakat pemegang hak atas tanah dalam
  lokasi yang dimohon antara lain: 
       
  1)   Penyebarluasan
  informasi mengenai rencana pembangunan perkebunan, ruang lingkup dan dampaknya, rencana perolehan dan
  penyelesaian perolehan tanah; 
       
  2)   Informasi
  mengenai rencana pengembangan dan penyelesaian masalah yang ditemui; 
       
  3)    Pengumpulan informasi untuk memperoleh data
  sosial dan lingkungan; 
       
  4)   Peranserta
  masyarakat serta alternatif bentuk dan besarnya ganti rugi tanah. 
 | 
 
| 
   
2. 
2.1. 
2.1.1 
 | 
  
   
PENERAPAN PEDOMAN TEKNIS BUDIDAYA DAN PENGOLAHAN KELAPA
  SAWIT. 
Penerapan pedoman teknis budidaya 
Pembukaan lahan  
Pembukaan lahan yang memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah dan air 
 | 
  
   
1. 
  Tersedia SOP pembukaan lahan 
2. 
  Tersedia rekaman pembukaan lahan 
 | 
  
   
a. 
  SOP pembukaan lahan harus mencakup : 
-     Pembukaan
  lahan tanpa bakar  
-     Sudah
  memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air; 
b. 
  Dokumentasi kegiatan pembukaan lahan tanpa pembakaran
  sejak tahun 2004 tidak diperkenankan. 
c.  
  Pembukaan lahan dilakukan berdasarkan hasil AMDAL/UKL-UPL. 
d. 
  Pada lahan dengan kemiringan di atas 40% tidak
  dilakukan pembukaan lahan. 
e. 
  Pembuatan sistem drainase, terasering, penanaman
  tanaman penutup tanah (cover crops) untuk meminimalisir erosi dan kerusakan/degradasi
  tanah. 
 | 
 
| 
   
2.1.2 
 | 
  
   
Konservasi Terhadap Sumber dan Kualitas Air 
 | 
  
   
1.  Tersedia rekaman
  pengelolaan air dan pemeliharaan sumber air. 
2.  Tersedia program
  pemantauan kualitas air permukaan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar
  perkebunan. 
3.  Tersedia rekaman
  penggunaan air untuk pabrik kelapa sawit. 
 | 
  
   
a.   Perusahaan
  harus menggunakan air secara efisien. 
b.   Perusahaan menjaga air
  buangan tidak terkontaminasi limbah sehingga tidak menimbulkan dampak
  negatif terhadap pengguna air lainnya. 
c.   Perusahaan melakukan
  pengujian mutu air di laboratorium secara berkala. 
d.   Perusahaan
  harus melakukan upaya untuk menghindari terjadinya erosi pada sempadan sungai di
  lokasi perkebunan; 
e.   Perusahaan
  harus melindungi/melestarikan sumber air yang ada di areal perkebunan. 
 | 
 
| 
   
2.1.3 
 | 
  
   
Perbenihan 
Pengelola perkebunan dalam menghasilkan benih unggul
  bermutu harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang
  berlaku dan baku teknis perbenihan. 
 | 
  
   
1.  Tersedia
  SOP perbenihan. 
2.  Tersedia rekaman
  asal benih yang digunakan. 
3.  Tersedia rekaman/dokumentasi
  pelaksanaan perbenihan. 
4.  Tersedia rekaman/dokumen penanganan
  benih/bibit yang tidak memenuhi persyaratan. 
 | 
  
   
Prosedur atau instruksi kerja/SOP pelaksanaan proses perbenihan
  harus dapat menjamin : 
a.  
  Benih yang digunakan sejak tahun 1997 merupakan
  benih bina yang berasal dari sumber benih yang telah mendapat pengakuan dari
  pemerintah dan bersertifikat dari instansi yang berwenang. 
b.  
  Umur dan kualitas benih yang disalurkan sesuai
  ketentuan teknis. 
c.   
  Penanganan terhadap benih yang tidak memenuhi
  persyaratan dituangkan dalam Berita Acara. 
 | 
 
| 
   
2.1.4 
 | 
  
   
Penanaman pada lahan mineral 
Pengelola perkebunan harus melakukan penanaman sesuai
  baku teknis 
 | 
  
   
1.  Tersedia
  SOP penanaman yang mengacu kepada Pedoman Teknis Pembangunan Kebun Kelapa
  Sawit di lahan mineral dan/atau lahan gambut. 
2.  Tersedia rekaman
  pelaksanaan penanaman; 
 | 
  
   
a.   
  SOP atau instruksi kerja penanaman harus mencakup : 
-     Pengaturan
  jumlah tanaman dan jarak tanaman sesuai dengan kondisi lapangan dan praktek
  budidaya perkebunan terbaik. 
-     Adanya
  tanaman penutup tanah dan/atau tanaman sela. 
-     Pembuatan
  terasering untuk lahan miring. 
b.   
  Rencana dan realisasi penanaman. 
 | 
 
| 
   
2.1.5 
 | 
  
   
Penanaman pada Lahan Gambut 
Penanaman kelapa sawit pada lahan gambut dapat
  dilakukan dengan memperhatikan karakteristik lahan gambut sehingga tidak
  menimbulkan kerusakan fungsi lingkungan  
 | 
  
   
1.   
  Tersedia SOP /instruksi 
  kerja untuk  penanaman pada
  lahan gambut dan mengacu kepada ketentuan yang berlaku. 
2.   
  Rekaman pelaksanaan penanaman tanaman terdokumentasi. 
 | 
  
   
SOP atau instruksi kerja penanaman harus mencakup :  
a.   Penanaman
  dilakukan pada lahan gambut berbentuk hamparan dengan kedalaman < 3 m dan
  proporsi  mencakup 70% dari total areal;
  Lapisan tanah mineral dibawah gambut bukan pasir kuarsa atau tanah sulfat
  masam dan pada lahan gambut dengan tingkat kematangan matang (saprik).  
b.   Pengaturan
  jumlah tanaman dan jarak tanaman sesuai dengan kondisi lapangan dan praktek
  budidaya perkebunan terbaik. 
c.   Adanya
  tanaman penutup tanah. 
d.   Pengaturan
  tinggi air tanah (water level)  antara 50 – 60 cm untuk menghambat emisi
  karbon dari lahan gambut 
 | 
 
| 
   
2.1.6 
 | 
  
   
Pemeliharaan tanaman 
 | 
  
   
1.  Tersedia
  SOP pemeliharaan tanaman yang mengacu kepada Pedoman Teknis
  Pembangunan Kebun Kelapa Sawit. 
2.  Tersedia rekaman/dokumen
  pelaksanaan pemeliharaan tanaman. 
 | 
  
   
Pemeliharaan tanaman mencakup kegiatan: 
-     Mempertahankan
  jumlah tanaman sesuai standar; 
-     Pemeliharaan
  terasering dan tinggi muka air (drainase); 
-     Pemeliharaan
  piringan; 
-     Pemeliharaan
  tanaman penutup tanah (cover crop). 
-     Sanitasi
  kebun dan penyiangan gulma; 
-     Pemupukan berdasarkan
  hasil analisa tanah dan daun. 
 | 
 
| 
   
2.1.7 
 | 
  
   
Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) 
Pengelola perkebunan harus menerapkan
  sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sesuai Pedoman Teknis. 
 | 
  
   
1. Tersedia SOP pengamatan dan pengendalian OPT. 
2. Tersedia SOP penanganan limbah pestisida. 
3. Tersedia rekaman pelaksanaan
  pengamatan dan pengendalian OPT; 
4. Tersedia rekaman jenis pestisida (sintetik
  dan nabati) dan agens pengendali hayati (parasitoid,
  predator, feromon, agens hayati, dll.) yang
  digunakan. 
5. Tersedia
  rekaman jenis tanaman inang musuh alami OPT. 
 | 
  
   
SOP dan instruksi kerja pengendalian OPT harus dapat
  menjamin bahwa : 
a.   
  Pengendalian OPT dilakukan secara terpadu (pengendalian
  hama terpadu/PHT), yaitu memadukan berbagai teknik pengendalian secara
  mekanis, biologis, fisik dan kimiawi. 
b.   
  Diterapkan sistem peringatan dini (Early Warning Sistem / EWS) melalui pengamatan
  OPT
  secara berkala; 
c.   
  Pestisida yang digunakan telah terdaftar di Komisi
  Pestisida Kementerian Pertanian. 
d.   
  Penanganan limbah pestisida dilakukan sesuai petunjuk
  teknis untuk meminimalisir dampak negatif terhadap lingkungan; 
e.   
  Tersedia sarana pengendalian sesuai SOP atau instruksi
  kerja. 
f.    
  Tersedia tenaga (regu) pengendali yang sudah terlatih. 
g.    Tersedia
  gudang penyimpanan alat dan bahan pengendali OPT ; 
 | 
 
| 
   
2.1.7 
 | 
  
   
Pemanenan 
Pengelola perkebunan melakukan panen tepat
  waktu dan dengan cara yang benar. 
 | 
  
   
1. Tersedia 
  SOP  pelaksanaan pemanenan. 
2. Tersedia rekaman pelaksanaan pemanenan. 
 | 
  
   
a. 
  SOP dan instruksi kerja pelaksanaan pemanenan harus mencakup : 
-    
  Penyiapan tenaga kerja, peralatan dan sarana
  penunjangnya. 
-    
  Penetapan kriteria matang panen dan putaran panen. 
b. 
  Kesesuaian pelaksanaan pemanenan dengan SOP yang ada 
 | 
 
| 
   
2.2. 
2.2.1 
 | 
  
   
Penerapan pedoman teknis pengolahan hasil perkebunan. 
Pengangkutan Buah. 
Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa TBS yang dipanen
  harus segera diangkut ke tempat pengolahan untuk menghindari penurunan
  kualitas. 
 | 
  
   
1. 
  Tersedia SOP untuk pengangkutan TBS. 
2. 
  Tersedia Rekaman pelaksanaan pengangkutan TBS; 
 | 
  
   
a. 
  SOP / Instruksi kerja pengangkutan buah berisikan
  ketentuan sebagai berikut: 
-    
  Ketersediaan alat transportasi serta sarana
  pendukungnya. 
-    
  Buah harus terjaga dari kerusakan, kontaminasi, kehilangan,
  terjadinya fermentasi 
-    
  Ketepatan waktu sampai di tempat pengolahan. 
b. 
  Kesesuaian pelaksanaan pengangkutan TBS dengan SOP yang
  ada 
 | 
 
| 
   
2.2.2 
 | 
  
   
Penerimaan TBS di PABRIK 
Pengelola pabrik memastikan bahwa TBS yang diterima
  sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. 
 | 
  
   
1. 
  Tersedia SOP penerimaan dan pemeriksaan/ sortasi  TBS 
2. 
  Tersedia Rekaman penerimaan TBS
  yang sesuai dan tidak sesuai dengan persyaratan. 
 | 
  
   
a.    SOP
  penerimaan dan pemeriksaan / sortasi TBS juga harus mencakup : 
-    
  Kriteria  sortasi
  buah yang diterima 
-    
  pengaturan terhadap TBS / brondolan yang tidak memenuhi
  syarat. 
b.    Kriteria
  TBS yang diterima di PABRIK harus dibuat terbuka. 
c.    Penetapan
  harga pembelian TBS mengikuti ketentuan yang berlaku, dan tersedia
  rekapitulasi ketetapan harga TBS dari instansi yang berwenang. 
d.   Kesesuaian
  pelaksanaan penerimaan / sortasi penerimaan TBS dengan SOP yang ada 
 | 
 
| 
   
2.2.3 
 | 
  
   
Pengolahan TBS. 
Pengelola pabrik harus merencanakan dan melaksanakan
  pengolahan TBS melalui penerapan praktek pengelolaan / pengolahan terbaik (GHP/GMP). 
 | 
  
   
1. 
  Tersedia SOP atau instruksi kerja  yang diperlukan baik untuk proses
  pengolahan maupun proses pemantauan dan pengukuran kualitas CPO. 
2. 
  Tersedia informasi yang menguraikan spesifikasi /
  standar hasil olahan. 
3. 
  Tersedia Rekaman pelaksanaan pengolahan. 
 | 
  
   
a. 
  Harus ada perencanaan produksi. 
b. 
  Peralatan dan mesin-mesin produksi harus dirawat dan
  dikendalikan untuk mencapai kesesuaian produk dan efisiensi. 
c.  
  Peralatan pabrik kelapa sawit harus dipelihara untuk
  menjamin proses pengolahan TBS dapat memenuhi kualitas hasil yang diharapkan.
   
d. 
  Harus ditetapkan dan diterapkan sistem/ cara
  identifikasi produk yang mampu telusur untuk menjamin ketelusuran rantai
  suplai (hanya bagi pabrik yang menerapkan supply chain certification/
  sertifikasi rantai suplai). 
 | 
 
| 
   
2.2.4 
 | 
  
   
Pengelolaan limbah. 
Pengelola pabrik memastikan bahwa limbah pabrik kelapa
  sawit dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 
 | 
  
   
1. 
  Tersedia instruksi kerja / SOP mengenai pengelolaan
  limbah (cair dan udara). 
2. 
  Rekaman mengenai pengukuran kualitas limbah cair. 
3. 
  Rekaman mengenai pengukuran kualitas udara (emisi
  dan ambient)  
4. 
  Rekaman pelaporan pemantauan pengelolaan limbah kepada
  instansi yang berwenang terdokumentasi. 
5. 
  Tersedia surat izin pembuangan air limbah  dari instansi terkait 
 | 
  
   
Prosedur dan petunjuk teknis pengelolaan limbah antara
  lain mencakup tentang : 
a. 
  Pengukuran kualitas 
  limbah cair  di outlet Instalasi
  Pengolahan Air Limbah (IPAL)  sesuai
  ketentuan yang berlaku; 
b. 
  Pengukuran kualitas udara emisi dari semua sumber emisi
  dan udara ambien sesuai ketentuan yang berlaku 
c.  
  Melaporkan per tiga bulan hasil pengukuran air limbah
  setiap bulan 
d. 
  Melaporkan per enam bulan hasil pengukuran udara
  emisi  dan udara ambien 
e. 
  Untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca khususnya gas
  metan dapat dilakukan dengan menggunakan Metan
  Trapping; 
f.   
  Untuk mengetahui bahwa kualitas limbah sudah tidak
  berbahaya bagi lingkungan dan dapat dibuang ke sungai, pada kolam terakhir
  perusahaan sering memelihara berbagai beberapa jenis ikan di kolam tersebut. 
 | 
 
| 
   
2.2.5 
 | 
  
   
Pengelolaan 
  Limbah B3  
Limbah B3 merupakan limbah  yang mengandung bahan berbahaya dan atau
  beracun yang karena sifat dan konsentrasinya dan atau jumlahnya dapat
  mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, oleh karena itu harus
  dilakukan upaya optimal agar kualitas lingkungan kembali kepada fungsi semula. 
 | 
  
   
a.
  Tersedia instruksi kerja / SOP
  mengenai pengelolaan limbah B3; 
b.
  Limbah B3 termasuk kemasan pestisida, oli bekas dan
  lain lain dibuang sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku; 
c.
  Rekaman penanganan limbah B3 terdokumentasi 
d.
  Tersedia surat izin penyimpanan dan/atau pemanfaatan
  limbah B3  dari instansi terkait 
 | 
  
   
Pengelola Limbah B3 di pabrik harus melakukan hal sbb: 
a. 
  Melaporkan tiga bulan sekali pengelolaan limbah B3 di
  Industri CPO-nya; 
b. 
  Mengirimkan jenis LB3 yang dihasilkan ke pihak ketiga
  yang berizin; 
c.  
  Membuat logbook/neraca (catatan keluar masuk limbah)
  untuk LB3 yang dihasilkan, dikelola lanjut dan yang tersimpan di TPS LB3; 
d. 
  Melaporkan neraca LB3 dan manifest pengiriman LB3
  secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada KNLH cc. Pemda Provinsi
  dan Pemda Kab/Kota; 
 | 
 
| 
   
2.2.6 
 | 
  
   
Gangguan dari Sumber yang tidak Bergerak 
Gangguan sumber yang tidak bergerak  berupa baku tingkat kebisingan, baku
  tingkat getaran, baku tingkat kebauan dan baku tingkat gangguan lainnya
  ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau
  aspek keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan. 
 | 
  
   
1.   Tersedia
  SOP/instruksi kerja untuk menangani gangguan sumber tidak bergerak sesuai
  dengan pedoman yang yang diterbitkan dari instansi yang tekait; 
2.  Laporan
  hasil pengukuran baku tingkat gangguan dari sumber yang tidak bergerak kepada
  instansi yang terkait; 
3.  Rekaman
  penanganan gangguan dari sumber tidak bergerak terdokumentasi 
 | 
  
   
i.       
  Pedoman teknis pengendalian dari sumber gangguan tidak
  bergerak ditetapkan oleh instansi yang terkait; 
ii.       
  Baku tingkat gangguan dari sumber tidak bergerak setiap
  5 (lima) ditinjau kembali 
 | 
 
| 
   
2.2.7 
 | 
  
   
Pemanfaatan limbah. 
Pengelola Perkebunan/Pabrik harus memanfaatkan limbah
  untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampak lingkungan. 
 | 
  
   
1. 
  Tersedia SOP pemanfaatan limbah. 
2. 
  Tersedia surat izin pemanfaatan limbah cair untuk Land Application (LA) dari
  instansi terkait. 
3. 
  Tersedia Rekaman pemanfaatan limbah padat dan cair. 
 | 
  
   
a. 
  Pengelola perkebunan/ pabrik dapat memanfaatkan limbah
  antara lain: 
1)  
  Pemanfaatan limbah padat berupa serat cangkang dan
  janjang kosong untuk bahan bakar; 
2)  
  Pemanfaatan tandan/janjang kosong untuk pupuk organik; 
3)  
  Pemanfaatan Land
  Application sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 
b. 
  Penyimpanan limbah di pabrik tidak  boleh menimbulkan pencemaran lingkungan
  atau menyebabkan terjadinya kebakaran pabrik. 
c.  
  Tersedia perhitungan pengurangan emisi bila menggunakan
  bahan bakar terbarukan termasuk biomassa dibandingkan dengan bahan bakar
  minyak bumi; 
d. 
  Pemanfaatan limbah cair harus dilaporkan  kepada instansi yang berwenang. 
 | 
 
| 
   
3. 
3.1. 
 | 
  
   
PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN. 
Kewajiban pengelola kebun yang memiliki pabrik 
Pengelola perkebunan yang memiliki pabrik harus melaksanakan
  kewajiban pengelolaan dan pemantauan lingkungan sesuai ketentuan yang
  berlaku. 
 | 
  
   
1. 
  Memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah); 
2. 
  Memiliki izin pemanfaatan limbah cair dari instansi
  berwenang bagi yang melakukan LA (Land Aplication). 
3. 
  Memiliki izin dari Pemerintah Daerah untuk pembuangan
  limbah cair ke badan air. 
4. 
  Memiliki izin dari KLH untuk pabrik yang membuang
  limbah cairnya ke laut. 
5. 
  Tersedia rekaman terkait kegiatan (1 s/d 4). 
 | 
  
   
Untuk industri kelapa sawit yang melakukan Land
  Aplication wajib : 
a. 
  Memantau limbah cair, kualitas tanah dan
  kualitas air tanah sesuai ketentuan yang berlaku; 
b. 
  Melaporkan per tiga bulan hasil pemantauan air limbah yang
  dilakukan setiap bulan; melaporkan pengukuran air tanah, sumur pantau setiap
  6 bulan sekali; dan pengukuran kualitas tanah 1 tahun sekali. 
c.  
  Melaporkan kualitas udara emisi dari semua sumber emisi
  dan ambient setiap 6 bulan sekali kepada PEMDA dengan tembusan KLH; 
Untuk industri yang tidak melakukan Land
  Aplication  wajib: 
a. 
  Memantau limbah cair setiap
  bulan. 
b. 
  Melaporkan per tiga bulan sekali hasil pemantauan
  limbah cair, per enam bulan emisi udara dan ambien kepada PEMDA dengan
  tembusan KLH; 
Pengelola Limbah B3 di pabrik harus melakukan hal sebagai
  berikut: 
e. 
  Melaporkan tiga bulan sekali pengelolaan limbah B3 di
  Industri CPO-nya; 
f.   
  Mengirimkan jenis LB3 yang dihasilkan ke pihak ketiga
  yang berizin; 
g. 
  Membuat logbook/neraca (catatan keluar masuk limbah)
  untuk LB3 yang dihasilkan, dikelola lanjut dan yang tersimpan di TPS LB3; 
h. 
  Melaporkan neraca LB3 dan manifest pengiriman LB3
  secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada KNLH cc. Pemda Provinsi
  dan Pemda Kab/Kota; 
 | 
 
| 
   
3.2. 
 | 
  
   
Kewajiban terkait analisa dampak lingkungan AMDAL,UKL dan
  UPL. 
Pengelola perkebunan harus melaksanakan kewajibannya
  terkait AMDAL, UKL dan UPL  sesuai
  ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 
 | 
  
   
1. Memiliki dokumen AMDAL bagi pelaku usaha
  perkebunan kelapa sawit yang mengelola lahan 
  > 3.000 ha.   
2. Memiliki dokumen UKL/UPL bagi pelaku usaha
  perkebunan kelapa sawit yang mengelola lahan < 3.000 ha 
3. Tersedia Rekaman terkait pelaksanaan
  penerapan hasil AMDAL,UKL/UPL termasuk laporan kepada instansi yang berwenang. 
 | 
  
   
a. Pelaku
  usaha perkebunan kelapa sawit sebelum melakukan usahanya wajib membuat dokumen
  lingkungan (AMDAL, UKL/UPL). 
b. Pelaku
  usaha perkebunan kelapa sawit yang telah beroperasi wajib menerapkan  hasil AMDAL, UKL/UPL; 
c.  Melaporkan
  hasil pemantauan dan pengelolaan lingkungan secara rutin kepada instansi yang
  berwenang. 
 | 
 
| 
   
3.3. 
 | 
  
   
Pencegahan dan penanggulangan kebakaran. 
Pengelola perkebunan harus melakukan pencegahan dan
  penanggulangan kebakaran. 
 | 
  
   
1. Tersedia
  SOP pencegahan dan penanggulangan kebakaran 
2. Tersedia
  SDM yang mampu mencegah dan menangani kebakaran. 
3. Tersedia
  sarana dan prasarana pengendalian/penanggulangan kebakaran; 
4. Memiliki
  organisasi dan sistem tanggap darurat; 
5. Tersedia
  Rekaman pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan kebakaran, pemantauan
  kebakaran dan pelaporannya. 
 | 
  
   
a.   Melakukan
  pelatihan penanggulangan kebakaran secara periodik 
b.   Melakukan
  pemantauan dan pencegahan kebakaran serta melaporkan hasilnya secara berkala
  (minimal 6 bln sekali) kepada Gubernur, Bupati/ Walikota dan instansi
  terkait. 
c.   Melakukan
  penanggulangan bila terjadi kebakaran. 
 | 
 
| 
   
3.4. 
 | 
  
   
Pelestarian biodiversity 
Pengelola perkebunan harus menjaga dan melestarikan
  keaneka ragaman hayati pada areal yang dikelola sesuai dengan ijin usaha
  perkebunannya. 
 | 
  
   
1. 
   Tersedia SOP identifikasi
  Perlindungan flora dan fauna di lingkungan perkebunan; 
2. 
  Memiliki daftar flora dan fauna di kebun dan sekitar
  kebun, sebelum dan sesudah dimulainya usaha perkebunan. 
3. 
  Tersedia Rekaman sosialisasi. 
 | 
  
   
a. Pengelola
  perkebunan melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat  tentang pentingnya keaneka ragaman hayati
  dan upaya pelestariannya. 
b. Dilakukan
  pendataan terhadap flora dan fauna di kebun dan sekitar kebun; 
c.  Upaya-upaya
  perusahaan untuk  konservasi  flora dan fauna  (antara lain dengan buffer zone, pembuatan poster,
  papan peringatan,  dll). 
 | 
 
| 
   
3.5 
 | 
  
   
Identifikasi dan perlindungan kawasan yang mempunyai
  nilai konservasi tinggi 
Pengelola perkebunan harus melakukan identifikasi  kawasan yang mempunyai nilai konservasi
  tinggi yang merupakan kawasan yang mempunyai fungsi utama melindungi
  kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan
  dan nilai sejarah serta budaya bangsa 
  dengan tidak membuka untuk usaha perkebunan kelapa sawit. 
 | 
  
   
1. Tersedia
  hasil identifikasi kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi 
2. Tersedia
  peta kebun yang menunjukkan lokasi 
  kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi. 
3. Rekaman
  identifikasi dan sosialisasi kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi. 
 | 
  
   
a. Dilakukan
  inventarisasi kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi di sekitar
  kebun. 
b. Sosialisasi
  kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi kepada karyawan dan
  masyarakat/petani di sekitar kebun. 
 | 
 
| 
   
3.6. 
 | 
  
   
Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) 
Pengelola usaha perkebunan harus mengidentifikasi
  sumber emisi GRK. 
 | 
  
   
1. Tersedia
  Petunjuk Teknis/SOP Mitigasi GRK; 
2. Tersedia
  inventarisasi sumber emisi GRK; 
3. Tersedia
  rekaman tahapan alih fungsi lahan (land use trajectory); 
4. Tersedia
  rekaman usaha pengurangan emisi GRK; 
5. Tersedia
  Rekaman pelaksanaan mitigasi. 
 | 
  
   
a.   Dilakukan
  inventarisasi sumber emisi GRK; 
b.   Sosialisasi
  upaya-upaya pengurangan emisi GRK (metan
  trapping, pengaturan tata air pada lahan gambut, pengelolaan pemupukan
  yang tepat, dll) dan cara perhitungannya. 
c.   Melakukan
  pemanfaatan limbah padat (serat, cangkang, dll) untuk bahan bakar boiler dan
  perhitungan efisiensi penggunaan bahan bakar fosil. 
d.   Memiliki
  bukti penggunaan lahan minimal 2 tahun sebelum dilakukan pembukaan lahan
  untuk usaha perkebunan dan bukti penanaman.  
 | 
 
| 
   
3.7. 
 | 
  
   
Konservasi kawasan dengan potensi erosi tinggi. 
Pengelola perkebunan harus melakukan koservasi lahan dan
  menghindari erosi sesuai ketentuan yang berlaku. 
 | 
  
   
1. 
  Tersedia SOP konservasi kawasan dengan potensi erosi
  tinggi termasuk sempadan sungai. 
2. 
  Tersedia peta kebun dan topografi serta lokasi
  penyebaran sungai. 
3. 
  Tersedia Rekaman pelaksanaan konservasi kawasan dengan
  potensi erosi tinggi. 
 | 
  
   
SOP konservasi kawasan dengan potensi erosi tinggi
  termasuk sempadan sungai harus dapat menjamin, bahwa : 
a.   Kawasan
  dengan potensi erosi tinggi antara lain adalah daerah sempadan sungai yang tidak
  lagi ditanami kelapa sawit. 
b.   Dilakukan
  penanaman  tanaman yang berfungsi
  sebagai penahan erosi pada sempadan sungai. 
c.   Apabila
  di kawasan sempadan sungai sudah ditanami kelapa sawit dan sudah menghasilkan
  (>4 tahun), maka perlu dilakukan program rehabilitasi pada saat peremajaan
  (replanting). 
 | 
 
| 
   
4. 
4.1. 
 | 
  
   
TANGGUNG JAWAB TERHADAP PEKERJA. 
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). 
Pengelola perkebunan wajib menerapkan  Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
  Kerja ( SMK3 )  
 | 
  
   
1.    Tersedianya
  Dokumentasi SMK3 yang ditetapkan oleh yang berwenang. 
2.    Telah
  terbentuk organisasi SMK3 yang didukung oleh sarana dan prasarananya. 
3.    Tersedia
  asuransi kecelakaan kerja (Jamsostek). 
4.    Rekaman
  penerapan SMK3 termasuk pelaporannya. 
 | 
  
   
a.   Perlu
  dilakukan pelatihan dan kampanye mengenai K3 
b.   Dilakukan
  identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian resiko kecelakaan. 
c.   Dilakukan
  pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi pekerja dengan resiko kecelakaan kerja
  tinggi. 
d.   Riwayat
  kejadian kecelakaan / cidera harus disimpan 
e.   Adanya
  pelaporan penerapan SMK3 secara periodik kepada  Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
  sesuai ketentuan yang berlaku. 
 | 
 
| 
   
4.2. 
 | 
  
   
Kesejahteraan dan peningkatan kemampuan pekerja / buruh. 
Pengelola perkebunan harus memperhatikan kesejahteraan
  pekerja dan meningkatkan kemampuannya. 
 | 
  
   
1.    
  Diterapkannya peraturan tentang Upah Minimum. 
2.    
  Mempunyai sistem penggajian baku yang ditetapkan. 
3.    
  Tersedia sarana dan prasarana untuk kesejahteraan pekerja
  (perumahan, poliklinik, sarana ibadah, sarana pendidikan dan sarana olahraga) 
4.    
  Tersedia kebijakan perusahaan untuk mengikutsertakan
  karyawan dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan
  yang berlaku. 
5.    
  Tersedia program pelatihan untuk peningkatan kemampuan
  karyawan. 
6.    
  Tersedia Rekaman pelaksanaan yang berkaitan dengan
  kesejahteraan dan peningkatan kemampuan pekerja. 
 | 
  
   
a.   Upah
  minimum yang dibayarkan sesuai dengan UMR daerah bersangkutan. 
b.   Daftar karyawan
  yang mengikuti program Jamsostek; 
c.   Daftar
  kebutuhan dan rencana pelatihan karyawan;  
d.   Daftar
  karyawan yang telah mengikuti pelatihan; 
 | 
 
| 
   
4.3. 
 | 
  
   
Penggunaan Pekerja Anak dan Diskriminasi pekerja
  (Suku, Ras, Gender dan Agama) 
Pengelola perkebunan tidak boleh mempekerjakan anak di
  bawah umur dan melakukan diskriminasi. 
 | 
  
   
1.    
  Perusahaan memiliki kebijakan tentang
  persyaratan umur pekerja sesuai dengan peraturan perundangan
  yang berlaku 
2.    
  Perusahaan memiliki kebijakan tentang peluang
  dan perlakuan yang sama untuk mendapat kesempatan kerja. 
3.    
  Tersedia Rekaman daftar karyawan. 
4.    
  Tersedia mekanisme penyampaian pengaduan dan keluhan
  pekerja. 
5.    
  Tersedia Rekaman pengaduan dan keluhan
  pekerja. 
 | 
  
   
a.    
  SOP penerimaan pekerja/pegawai,  
b.    
  Tidak terdapat pekerja di bawah umur yang ditentukan 
c.    
  Perusahaan wajib menjaga keamanan dan
  kenyamanan bekerja 
 | 
 
| 
   
4.4. 
 | 
  
   
Pembentukan Serikat Pekerja. 
Pengelola perkebunan harus memfasilitasi terbentuknya Serikat
  Pekerja dalam rangka memperjuangkan hak-hak karyawan / buruh. 
 | 
  
   
1.    
  Perusahaan memiliki peraturan terkait dengan keberadaan serikat
  pekerja. 
2.    
  Memiliki daftar pekerja yang menjadi anggota serikat
  pekerja. 
3.    
  Tersedia Rekaman pertemuan-pertemuan baik antara
  perusahaan dengan serikat pekerja maupun intern serikat. 
 | 
  
   
e. 
  Perusahaan memfasilitasi terbentuknya serikat pekerja 
f.  
  Perusahaan memberikan pembinaan kepada serikat pekerja 
g. 
  Perusahaan memberikan fasilitas untuk kegiatan serikat
  pekerja 
 | 
 
| 
   
4.5. 
 | 
  
   
Perusahaan mendorong dan memfasilitasi pembentukan
  koperasi pekerja 
 | 
  
   
1.    Tersedia
  Kebijakan perusahaan dalam pembentukan koperasi; 
2.    Tersedia
  Akte pendirian koperasi karyawan 
 | 
  
   
a. 
  Perusahaan memfasilitasi terbentuknya koperasi karyawan 
b. 
  Perusahaan memberikan pembinaan kepada koperasi
  karyawan sampai terbentuknya badan hukum koperasi karyawan 
c. 
  Perusahaan memberikan fasilitas untuk kegiatan koperasi
  karyawan 
d. 
  Koperasi karyawan melakukan RAT  
e. 
  Koperasi karyawan mempunyai aktifitas yang nyata 
f.  
  Daftar karyawan yang menjadi anggota koperasi 
 | 
 
| 
   
5. 
5.1. 
 | 
  
   
TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN KOMUNITAS 
Tanggung jawab sosial dan lingkungan kemasyarakatan 
Pengelola perkebunan harus memiliki komitmen sosial,
  kemasyarakatan dan pengembangan potensi kearifan lokal. 
 | 
  
   
1.    Tersedia
  komitmen tanggung jawab sosial dan lingkungan kemasyarakatan sesuai dengan
  norma yang berlaku di masyarakat setempat. 
2.    Tersedia
  Rekaman realisasi komitmen tanggung jawab sosial dan lingkungan
  kemasyarakatan. 
 | 
  
   
a.    Meningkatkan
  kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat baik bagi perseroan
  sendiri, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya; 
b.   
  Ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar
  dengan melakukan kemitraan. 
c.   
  Melakukan pembangunan di sekitar kebun antara lain melalui
  berbagai kegiatan  seperti pendidikan, kesehatan,
  infrastruktur, pertanian, usaha mikro dan kecil, olah raga, kesenian,
  keagamaan, sosial ekonomi dll. 
 | 
 
| 
   
5.2. 
 | 
  
   
Pemberdayaan Masyarakat Adat/ Penduduk Asli 
Pengelola perkebunan berperan dalam mensejahterakan
  masyarakat adat/ penduduk asli. 
 | 
  
   
1.    Memiliki
  program untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat adat (penduduk asli). 
2.    Memiliki
  program untuk mempertahankan kearifan lokal. 
3.    Tersedia
  Rekaman realisasi program bersama masyarakat adat/ penduduk asli. 
 | 
  
   
a.    Berperan
  dalam memberdayakan penduduk asli (indegenous people) 
b.   
  Memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat
  adat/penduduk asli. 
 | 
 
| 
   
6. 
6.1. 
 | 
  
   
PEMBERDAYAAN KEGIATAN  
EKONOMI MASYARAKAT  
Pengembangan Usaha Lokal 
Pengelola perkebunan memprioritaskan untuk memberi peluang
  pembelian / pengadaan barang dan jasa kepada masyarakat di sekitar kebun. 
 | 
  
   
Tersedia Rekaman transaksi lokal
  termasuk pembelian lokal, penggunaan kontraktor lokal, dll. 
 | 
  
   
Perusahaan harus membina masyarakat di sekitar kebun
  yang memiliki potensi untuk dapat memenuhi persyaratan / kriteria sebagai
  pemasok / suplier. 
Jenis kerjasama dalam pengembangan
  kegiatan ekonomi masyarakat antara lain: penyediaan sarana produksi, transportasi,
  dan jasa lainnya.  
 | 
 
| 
   
7. 
 | 
  
   
PENINGKATAN USAHA SECARA BERKELANJUTAN 
Pengelola perkebunan dan pabrik harus terus menerus meningkatkan
  kinerja (sosial, ekonomi dan lingkungan) dengan mengembangkan dan
  mengimplementasikan rencana aksi yang mendukung peningkatan produksi berkelanjutan. 
 | 
  
   
Tersedia rekaman hasil penerapan perbaikan/peningkatan
  yang dilakukan. 
 | 
  
   
Pengelola perkebunan melakukan perbaikan / peningkatan
  secara berkelanjutan melalui : 
a.    
  Perbaikan / peningkatan sebagai tindak lanjut  keputusan-keputusan dari tinjauan
  manajemen. 
b.    
  Penerapan teknologi baru hasil penelitian baik intern
  maupun dari luar. 
c.    
  Pelaksanaan tindakan korektif maupun preventif sebagai
  tindak lanjut terhadap adanya ketidak sesuaian terhadap pengembangan
  perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. 
 | 
 
Untuk mendownload klik pada tulisan dan pilih save.
Demikian dulu informasi tentang prinsip dan kriteria Indonesian Sustainable Palm Olil (ISPO) semoga membantu.
No comments:
Post a Comment